Rindangnya Pohon trembesi yang menyejukkan. Dok.Pribadi |
Waktu menunjukkan pukul 13.00 di jam tangan saya. Udara terasa panas menyengat
di kesibukan kegiatan yang saya kunjungi saat itu. Seperti siang-siang sebelumnya. Di tambah dengan sedikitnya
angin yang bertiup. Maka semakin terasa panas hawa itu menusuk pori-pori yang tidak
henti-hentinya mengucurkan keringat. Mungkin hujan akan segera turun.
Maka ketika break kegiatan untuk ishoma, daya yang hanya sebagai pengunjung meminta diri mencari tempat untuk melaksanakan kewajiban. Sembari memilih lokasi yang cocok untuk mencari kesejukan.
Saya berjalan menyusuri boulevard sebuah gedung pertemuan yang lega dan hijau. Di bawah pohon trembesi yang sedang lebat-lebatnya bertunas. Ajaib. Udara disepanjang trotoar dengan naungan trembesi itu sungguh berbeda dari yang saya rasakan di okasi sebelumnya tadi. Sejuknya udara ditambah angin yang berhembus pelan menjadikan suasana benar-benar membuat betah untuk menghentikan langkah.
Maka ketika break kegiatan untuk ishoma, daya yang hanya sebagai pengunjung meminta diri mencari tempat untuk melaksanakan kewajiban. Sembari memilih lokasi yang cocok untuk mencari kesejukan.
Saya berjalan menyusuri boulevard sebuah gedung pertemuan yang lega dan hijau. Di bawah pohon trembesi yang sedang lebat-lebatnya bertunas. Ajaib. Udara disepanjang trotoar dengan naungan trembesi itu sungguh berbeda dari yang saya rasakan di okasi sebelumnya tadi. Sejuknya udara ditambah angin yang berhembus pelan menjadikan suasana benar-benar membuat betah untuk menghentikan langkah.
Di lokasi itulah, atau setengah perjalanan saya atau di tengah-tengah boulevard yang panjangnya tidak lebih dari dua kilometer itu, menuju lokasi
tujuan saya, saya terhenti untuk menikmati angin yang berhembus dan suara
burung kutilang yang bersahut-sahutan. Suasana yang di desa saya pun, sudah hampir tidak ada lagi. Mungkin rimbunnya trembesi dan pagar akademi itulah yang menjadi
pelindung dari burung-burung kutilang itu untuk leluasa berkembang biak.
Karena di desa saya segala jenis burung telah masuk dalam perangkap para pencari nafkah. Burung-burung itu setelah masuk perangkap untuk kemudian menjadi barang dagangan. Seperti pagi itu, sebelum kedatangan saya ke tempat kegiatan ini. Saya bertemu anak muda dengan potongan rambut Korea menenteng senapan angin dengan menunggang motor otomatik. Saya bilang "monggo" ketika Ia menegur saya yang sedang membaca berita. Dan saya baru tersadar bahwa di pinggang anak muda itu telah tergantung sedikitnya 3 ekor tupai dengan bulu ekor yang indah, yang merupakan hasil buruannya pagi itu.
Akankah burung kutilang yang menemani saya, yang sedang bersenandung di atas pohon trembesi di sepanjang boulevard ini akan bernasib seperti saudaranya yang tinggal di desa saya? Mudah-mudahan tidak. Ia akan terus lestari. Amin. Tapi siapakah yang peduli?
Yogyakarta, 17/11/12.
Karena di desa saya segala jenis burung telah masuk dalam perangkap para pencari nafkah. Burung-burung itu setelah masuk perangkap untuk kemudian menjadi barang dagangan. Seperti pagi itu, sebelum kedatangan saya ke tempat kegiatan ini. Saya bertemu anak muda dengan potongan rambut Korea menenteng senapan angin dengan menunggang motor otomatik. Saya bilang "monggo" ketika Ia menegur saya yang sedang membaca berita. Dan saya baru tersadar bahwa di pinggang anak muda itu telah tergantung sedikitnya 3 ekor tupai dengan bulu ekor yang indah, yang merupakan hasil buruannya pagi itu.
Akankah burung kutilang yang menemani saya, yang sedang bersenandung di atas pohon trembesi di sepanjang boulevard ini akan bernasib seperti saudaranya yang tinggal di desa saya? Mudah-mudahan tidak. Ia akan terus lestari. Amin. Tapi siapakah yang peduli?
Yogyakarta, 17/11/12.
No comments:
Post a Comment