Siapapun, boleh melarang saya untuk tidak melakukan sesuatu apapun, tetapi jangan
untuk tidak melakukan perjalanan pulang kampung alias mudik. Karena entah
dorongan dari mana di dalam diri saya sehingga mudik menjadi sebuah kegiatan yang
paling menjadi kegemaran saya yang paling menggairahkan. Setidaknya itulah
catatan saya yang paling penting. Oleh karena itulah jika pun larangan itu ada,
saya yakinkan bahwa itu tidak akan efektif.
Itu pulalah maka pada catatan ini saya mencoba mengurai suasana hati tentang beberapa hal yang menjadi pendorong bagi saya untuk melakukan perjalanan mudik itu. Walau untuk menemukan apa yang menjadi penyebabnya, sulit saya menguraikannya. Tetapi saya coba untuk menelisik dorongan hati itu.
Itu pulalah maka pada catatan ini saya mencoba mengurai suasana hati tentang beberapa hal yang menjadi pendorong bagi saya untuk melakukan perjalanan mudik itu. Walau untuk menemukan apa yang menjadi penyebabnya, sulit saya menguraikannya. Tetapi saya coba untuk menelisik dorongan hati itu.
Pertama, karena keluarga. Harus saya sampaikan bahwa karena keberadaan ibu saya, yang saya panggil Mamak,
menjadi daya dorong bagi hasrat saya untuk pulang kampung pada akhir-akhir ini. Itu karena Mamak
bagi saya adalah manusia pelayan yang tulus tiada batas. Orangtua satu-satunya yang masih dapat saya dan anak-anak yang lainnya untuk bertegur sapa. Karena Bapak telah tiada sejak Oktober 2009 lalu.
Beliau akan tidur
paling terakhir ketika malam telah menjelang larut, dan bangun paling awal ketika subuh jauh belum datang, di dalam keluarga kami. Terlebih ketika
anak-anak Mamak beserta cucu-cucu, serta kadang keponakan-keponakan, sedang berkumpul untuk sebuah reuni keluarga. Maka
terasa sekali bagaimana pelayanan Mamak kepada kami. Dan sejak Bapak almarhum itu, maka prosesi pelayanan bertumpu pada Mamak seorang diri.
Tapi ketika kita menawarkan diri agar Mamak istirahat barang sejenak, maka ajakan atau hinbauan serta bantuan itu dengan tegas ditolaknya. Ia pernah mengaku bahwa apa yang dilakukannya adalah bentuk membahagiakan para anak-anak, cuçu-cucu, dan para adik serta kepnakannya agar supaya kerasan untuk tetap tinggal di rumahnya. Dan membahagiakan para 'tetamunya' itu menjadi sumber kabahagiaannya.
Kedua, suasana. Apa yang saya maksud dengan suasana? Yaitu situasi desa yang masih relatif sepi. Ini karena kampung dimana saya pernah tumbuh hingga remaja dan menginjak dewasa itu, masih benar-benar desa dalam arti yang sebenarnya. Jarak antar rumah masih berjauhan untuk ukuran kota yang bertempat tinggal saling berhimpitan. Juga pekarangan dari masing-masing rumah yang dipenuhi warna kehijauan oleh tanaman. Baik perdu atau tanaman keras yang memungkin kami sebagai warga desa menjadikannya untuk tabungan.
Suasana yang dikala siang dan malamnya dihiasi suara alam dan binatang yang tidak lelahnya mlantunkan suara khasnya masing-masing, serta kendaraan besar yang menderu-deru ketika harus merambati tanjakan yang lumayan tinggi yang ada di pinggir kampung kami. Dan sesekali bunyi roda besi dari kereta api ketika melalui sambungan antar rel yang menimbulkan irama khas. Juga bunyi deburan ombak laut selatan, ketika menjelang pagi, yang tidak pernah ada jeda. Meski semua bunyi itu mengisyaratkan keberadaan sumber bunyi yang tidak dekat.
Meski suasana itu semakin hari semakin berbeda dibanding ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Terutama semakin sedikit dan hilangnya bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh burung-burung yang bebas berterbangan di pohon-pohon yang tumbuh lebat di pekarangan rumah kami.
Ketiga, kenangan. Bagaimana pun, kampung halaman saya adalah tempat mudik saya. Karena disanalah bagian hidup saya tersimpan. Dan atas nama itu pulalah antara lain yang memicu saya untuk selalu mudik guna mengais kenangan masa lalu yang padahal tidak semuanya indah itu. Tetapi, tampaknya kenangan-kenangan itu memiliki resonansi aura positif untuk sebuah jalan yang harus saya tempuh ke depan. Dan masa lalu itu telah menjadi sejarah yang abadi bagi saya.
Ia akan tetap menuliskan semua detil dengan tanpa meniliknya dari sisi menguntungkan atau dari sisi yang merugikan. Yang akan berkomitmen memegang kendali tentang apa saja yang telah terjadi. Karena kearifan masa depan hanya mungkin dibangun dari sebuah fakta yang spa adanya. Maka apqpun Mada lalu saya, itulah yqng telah terjadi.
Jakarta, 14/11/12-Yogyakarta, 15/11/12.
Tapi ketika kita menawarkan diri agar Mamak istirahat barang sejenak, maka ajakan atau hinbauan serta bantuan itu dengan tegas ditolaknya. Ia pernah mengaku bahwa apa yang dilakukannya adalah bentuk membahagiakan para anak-anak, cuçu-cucu, dan para adik serta kepnakannya agar supaya kerasan untuk tetap tinggal di rumahnya. Dan membahagiakan para 'tetamunya' itu menjadi sumber kabahagiaannya.
Kedua, suasana. Apa yang saya maksud dengan suasana? Yaitu situasi desa yang masih relatif sepi. Ini karena kampung dimana saya pernah tumbuh hingga remaja dan menginjak dewasa itu, masih benar-benar desa dalam arti yang sebenarnya. Jarak antar rumah masih berjauhan untuk ukuran kota yang bertempat tinggal saling berhimpitan. Juga pekarangan dari masing-masing rumah yang dipenuhi warna kehijauan oleh tanaman. Baik perdu atau tanaman keras yang memungkin kami sebagai warga desa menjadikannya untuk tabungan.
Suasana yang dikala siang dan malamnya dihiasi suara alam dan binatang yang tidak lelahnya mlantunkan suara khasnya masing-masing, serta kendaraan besar yang menderu-deru ketika harus merambati tanjakan yang lumayan tinggi yang ada di pinggir kampung kami. Dan sesekali bunyi roda besi dari kereta api ketika melalui sambungan antar rel yang menimbulkan irama khas. Juga bunyi deburan ombak laut selatan, ketika menjelang pagi, yang tidak pernah ada jeda. Meski semua bunyi itu mengisyaratkan keberadaan sumber bunyi yang tidak dekat.
Meski suasana itu semakin hari semakin berbeda dibanding ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Terutama semakin sedikit dan hilangnya bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh burung-burung yang bebas berterbangan di pohon-pohon yang tumbuh lebat di pekarangan rumah kami.
Ketiga, kenangan. Bagaimana pun, kampung halaman saya adalah tempat mudik saya. Karena disanalah bagian hidup saya tersimpan. Dan atas nama itu pulalah antara lain yang memicu saya untuk selalu mudik guna mengais kenangan masa lalu yang padahal tidak semuanya indah itu. Tetapi, tampaknya kenangan-kenangan itu memiliki resonansi aura positif untuk sebuah jalan yang harus saya tempuh ke depan. Dan masa lalu itu telah menjadi sejarah yang abadi bagi saya.
Ia akan tetap menuliskan semua detil dengan tanpa meniliknya dari sisi menguntungkan atau dari sisi yang merugikan. Yang akan berkomitmen memegang kendali tentang apa saja yang telah terjadi. Karena kearifan masa depan hanya mungkin dibangun dari sebuah fakta yang spa adanya. Maka apqpun Mada lalu saya, itulah yqng telah terjadi.
Jakarta, 14/11/12-Yogyakarta, 15/11/12.
No comments:
Post a Comment