Pada sebuah seminar setengah hari yang berlangsung di Jakarta kemarin, atau beberapa seminar lainnya, saya sebagai salah satu dari peserta seminar itu, terbelalak oleh kehadiran teman-teman dari daerah. Selain itu juga bercampur antara rasa kagum dan rasa kasihan. Ini mungkin karena saya yang kebetulan juga tinggal di Jakarta merasakan bagaimana effort yang harus saya keluarkan untuk sebuah seminar dengan satu sesi seperti itu.
Effort yang saya maksudkan meski itu adalah sebuah seminar gratis, adalah menghubungi panitia penyelenggara untuk keikutsertaan. Juga, karena sekolah kami yang terdiri dari tiga (3) unit sekolah, TK, SD, dan SMP, juga harus membagi kuota peserta dan menunjuk teman-teman yang dapat ikut serta atau yang cocok, atau harus ikut serta. Juga mengatur keberangkatan teman-teman itu dari sekolah ke lokasi seminar.
Namun ketika dalam seminar seperti itu, kadang kami bertemu dengan teman-teman guru yang berasal dari luar Jabodetabek, atau bahkan dari luar Jawa. Kenyataan itu membangkitkan dua hal yang terpikir oleh saya. Pertama, adalah kekaguman saya terhadap rasa ingin belajar meteka untuk hadir dalam seminar. Lebih-lebih kepada guru-guru yang mengikuti kegiatan seminar, yang antara lain adalah sebagai wahana bagi peningkatan kompetensi, bukan berangkat dari prakarsa lembaga dimana Bapak atau Ibu Guru tersebut mengabdi. Tetapi karena keinginan yang kuat dari dalam diri mereka sendiri.
Walau kadang masih ada yang berpikir miring tentang keikutsertaan teman-teman dalam seminar semacam itu, misalnya karena untuk memperoleh sertifikat kepesertaan. Tetapi tidak lagi untuk zaman sekarang ini. Karena sertifikasi guru sudah dengan pola PLPG dan tidak lagi menggunakan pola portofolio yang antara lain membutuhkan sertifikat sebagai dasar pemenuhan nilai.
Kedua, kepada teman-teman yang datang dari jauh-jauh itu, memang benar-benar menginginkan sebuah sumber atau komunitas belajar yang barangkali di wilayah terdekatnya belum tumbuh. Maka, dengan segenap antusiasme yang berkobar itulah ia berangkat ke Jakarta untuk memenuhi kedahagaan terhadap ilmu, atau setidaknya ingin melihat bagaimana teman-teman guru yang tinggal di Jakarta? Meski hanya dalam sebuah seminar setengah hari dan bukan dalam sebuah pelatihan untuk beberapa hari?
Dan semangat untuk menjadi berbeda dengan apa yang ada di daerahnya itulah yang benar-benar dapat saya lihat sebagai upaya untuk membuat anak tangga bagi masa depannya yang lebih terang. Teman-teman guru seperti inilah yang semestinya mendapat peluang untuk dijadikan pemicu bagi kebangkitan semangat berubah ke arah yang lebih baik. Dan jika semangat ini menjadi semangat lembaga, niscaya bukan pesertanya yang datang ke Jakarta, tetapi justru pelatihnya yang datang ke daerah untuk lebih dapat menjangkau banyak guru-guru semangat yang lain yang lebih banyak. Mestinya.
Tetapi, kapankah harapan semacam itu akan lahir tidak saja sebagai wacana? Dalam angan saya, kalau para pengambil keputusan di daerah para guru yang bersemangat itu memiliki kepedulian tentang apa yang semestinya mereka kerjakan sebagai amanah yang diembannya. Dan mudah-mudahan tidak lama lagi era itu.
Selamat hari Guru!
Walau kadang masih ada yang berpikir miring tentang keikutsertaan teman-teman dalam seminar semacam itu, misalnya karena untuk memperoleh sertifikat kepesertaan. Tetapi tidak lagi untuk zaman sekarang ini. Karena sertifikasi guru sudah dengan pola PLPG dan tidak lagi menggunakan pola portofolio yang antara lain membutuhkan sertifikat sebagai dasar pemenuhan nilai.
Kedua, kepada teman-teman yang datang dari jauh-jauh itu, memang benar-benar menginginkan sebuah sumber atau komunitas belajar yang barangkali di wilayah terdekatnya belum tumbuh. Maka, dengan segenap antusiasme yang berkobar itulah ia berangkat ke Jakarta untuk memenuhi kedahagaan terhadap ilmu, atau setidaknya ingin melihat bagaimana teman-teman guru yang tinggal di Jakarta? Meski hanya dalam sebuah seminar setengah hari dan bukan dalam sebuah pelatihan untuk beberapa hari?
Dan semangat untuk menjadi berbeda dengan apa yang ada di daerahnya itulah yang benar-benar dapat saya lihat sebagai upaya untuk membuat anak tangga bagi masa depannya yang lebih terang. Teman-teman guru seperti inilah yang semestinya mendapat peluang untuk dijadikan pemicu bagi kebangkitan semangat berubah ke arah yang lebih baik. Dan jika semangat ini menjadi semangat lembaga, niscaya bukan pesertanya yang datang ke Jakarta, tetapi justru pelatihnya yang datang ke daerah untuk lebih dapat menjangkau banyak guru-guru semangat yang lain yang lebih banyak. Mestinya.
Tetapi, kapankah harapan semacam itu akan lahir tidak saja sebagai wacana? Dalam angan saya, kalau para pengambil keputusan di daerah para guru yang bersemangat itu memiliki kepedulian tentang apa yang semestinya mereka kerjakan sebagai amanah yang diembannya. Dan mudah-mudahan tidak lama lagi era itu.
Selamat hari Guru!
Jakarta, 26 Nopember 2012.
No comments:
Post a Comment