Membaca koran 'Semarang' terbitan hari Minggu tanggal 18 Nopember 2012, hari itu, terasa begitu istimewa
bagi saya. Tidak hanya karena sejak empat hari lalu saya, tepatnya sejak hari Rabu, 14 Nopember 2012, saya absen dan belum
sekaipun menyentuh lembaran koran, tetapi juga karena keinginan untuk membaca koran dan tentunya membelinya ketika saya sedang tidak berada di rumah,
kadang-kadang hilang begitu cepat sepanjang masa long week end itu. Hilang
sebelum lembaran koran sempat saya beli, dan baru teringat kembali kalau saya harus membeli koran jika ingin membaca, setelah saya berada di atas bus AKAP jurusan Solo-Cilacap, dan tidak mungkin mendapatkannya. Begitu berulang dari Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, hingga hari Minggu itu. Dari Mulai hari
Kamis, jumat, sabtu, hingga akhirnya hari minggu.
Alasan lain untuk saya katakan istimewa adalah karena membaca koran kali ini adalah membaca untuk pengisi perjalanan saya kembali ke Jakarta dengan menumpang bus umum juga. Serta Koran yang saya baca adalah koran daerah 'Semarang'. Koran yang telah saya akrabi ketika saya tinggal di daerah Candi, Semarang untuk beerapa hari. Jadi lengkaplah keistimawaan itu.
Cerita tentang Mayat
Meski membaca koran kali itu hanya sebagai pengisi perjalanan, namun dari sanalah saya memperoleh inspirasi hidup yag sungguh tiada terkira. Ini tidak lain karena adanya liputan tentang merawat mayat atau jenazah yang ada di koran itu.
Maka, artikel yang menarik untuk saya ikat dalam ingatan saya dalam bentuk catatan itu, pagi ini ketika bertemu dengan teman-teman untuk sebuah pertemuan, saya uraiakan betapa sederhananya orang atau kita semua untuk melakukan kebaikan. Itulah kupasan tentang merawat mayat dalam bentuk Laporan Utama oleh Edy Muspriyanto.
Dimana dikisahkan bagaimana almarhum selebritas Taufik Savalas yang memberikan kartu nama kepada rekannya (Edy Muspriyanto?), tentang usaha sampingannya, berupa memandikan jenazah atau mayat. Seriusnya, usaha sampingan itu oleh almarhum dibuat dalam bentuk kartu nama, dan dibagikan kepada sang teman tersebut.
Ketika temannya bertanya berapa biaya untuk pemandian jenazah, Taufik mengatakan bahwa profesi sampingannya itu bebas bia alias gratis. Hal ini, jelas almarhum Taufik, adalah salah satu ikhtiarnya untuk menabung bagi bekal akheratnya.
Sederhana bukan? Tetapi dari artikel itu saya meperoleh inspirasi hidup yang transendental. Hidup yang tidak hanya berpikir tentang dunia. Dan kepada sosok almarhum? Saya dibuatnya terkesima. Bahwa ada sosok selebritas berpikirnya tidak hanya kekinian. Dahsyat bukan?
Jakarta, 18/11/12.
No comments:
Post a Comment