Delapan tahun yang lalu, di sebuah lembaga pendidikan di wilayah utara pulau Sulawesi, saya mendapat amanah untuk menjadi pemandu bagi sebuah transformasi budaya kerja. Pada waktu itu, apa yang saya dapatkan dari sebuah tugas atau pekerjaan sebagaimana hal tersebut, adalah sebuah amanah berat. Mungkin karena ini menjadi hal yang memang tidak banyak menjadi urusan saya selama ini sebagai orang luar atau sebagai orang yang disewa. Namun karena sokongan pemilik lembaga yang secara khusus mendampingi saya untuk ikut hadir dalam kegiatan tersebut, sekaligus pulang kampung, juga adalah pertemanan saya dengan beberapa pucuk pimpinan yang ada di lembaga dimaksud, sehingga memicu semangat saya untuk terus menemukan jalan dan celah menuju transformasi yang diinginkan.
Jadilah keberadaan saya selama sepekan selama liburan semester tersebut sebagai perjalanan profesional saya dalam menemani teman-teman di lembaga swasta itu dalam membuat peta perjalanan. Maka peristiwa itu sangat kental dengan diskusi tentang konsepsi peta perjalanan serta strategi pencapaiannya, dan juga alat atau parameter yang dibutuhkan dalam melaksanakan konsep yang kami inginkan.
Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas saya saat itu. Pertama; saya menjelaskan dan mendiskusikan konsep lembaga/organisasi. Bersamaan dengan itu, berarti saya mengajak seluruh komponen yang ikut serta dalam kegiatan itu untuk bermimpi tentang sukses yang ingin dicapainya. Kedua; diskusi tentang berbagai parameter yang mungkin dapat kita jadikan sebagai pegangan dalam menjalankan konsep dan sekaligus sebagai tolok ukurnya. Sebagai pemandu dalam operasionalisasi sebuah perjalanan organisasi. Dalam tahapan ini, maka peserta yang ada kami bagi dalam komisi yang kami sesuaikan kebutuhannya. Mereka bekerja dalam satu ruangan besar dengan penuh semangat untuk perubahan atau transformasi. Ketiga; Membuat kesepakatan terhadap arah atau tujuan yang diinginkan bersama, konsepsi sistematikanya, dan sekaligus format parameter-parameter yang dibutuhkannya.
Pada tahapan yang terakhir itulah, saya ingat sekali bagaimana kami belum menyepakati. Dan karena ada keharusan yang harus menjadi tuntas, maka diskusi kami lanjutkan di rumah adat yang menjadi bagian dari lembaga tersebut, pada malam hari. Sakali lagi, ini adalah kesempatan dan peristiwa pelatihan langka dan sekaligus unik yang pernah saya lakoni.
Bagian terakhir itu, adalah menyepakati konsepsi dan sekaligus parameter bagi sebuah penilaian keberhasilan guru. Namun karena pada siang harinya kita sudah berkutat dan berhasil membuat rumusan tentang profil lulusan dari seorang siswa atau perserta didik, maka pada pembahasan malam itu saya mengajak teman-teman untuk menggunakan proses yang sama.
Dan alhamdulillah semua itu dapat berjalan dengan baik. Saya dan beberapa teman meninggalkan lembaga itu dengan seperangkat konsep dan sistem transformasi sebagai hasil diskusi seluruh komponen perguruan/organisasi sebagau panduan tertulis.
Enam bulan berikutnya, saya baru mendapatkan kabar bahwa perangkat sebagai hasil diskusi dan kesepakatan yang saya pandu pada saat sebelumnya, masih berhenti sebagai dokumen. Dan masih sedikit sekali konsep-konsep bagus tersebut yang diaplikasi sebagai peta perjalanan bagi organisasi tersebut. Dari apa yang saya alami itu, inilah bagian penting bagi sebuah keberhasilan bagi transformasi lembaga/organisasi. Yaitu melakukan apa yang disepakati. Dan tidak menjadikannya sebagai dokumen. Karena dokumen itu masih merupakan bukti hasil kerja pada tataran konsep. Padahal keberhasilan oraganisasi adalah muara dari implementasi konsep-konsep.
Hari ini, saya tertegun kembali atas sebuah organisasi yang memiliki gambar mirip dengan apa yang saya tatap pada waktu itu...
Jakarta, 31 Maret 2013.
No comments:
Post a Comment