Lulus SMA tahun 2007, Indra, ayah seorang anak dengan usia 18 bulan ini
berwirausaha sebagai tukang foto yang mangkal di keraton Kanoman,
Cirebon. Siang itu adalah pertemuan kami dengan sang fotografer yang bernama Indra itu. Kehadirannya benar-benar mengganggu kami ketika kami akan memasuki museum benda pusakan ketika kami berada di keraton tersebut. Dan sejak itulah, saya memperhatikan Indra terus menerus menguntit pergerakan dan perjalanan kami. Tentu Indra bukan satu-satunya orang yang kami temui di lokasi wisata di kota Cirebon. Ada beberapa teman seprofesinya yang menjadikan momen-momen para wisatawan di kota Cirebon sebagai obyek untuk kemudian diabadikan dalam foto dan kemudian dicetaknya.
Namun pada rombongan kami, Indralah fotografer itu. Dan kali pertama ia membedikkan kameranya ke wajah-wajah rombongan kami adalah di lokasi Kanoman itu. Seperti yang saya kemukakan di depan, pada mulanya kami benar-benar merasa terganggu dengan keberadaannya. Ia selalu menguntit rombongan kami dan tanpa mendapat komando kameranya selalu mengincar kami.
Tapi bagaimana kami mengusirnya? Tidak ada momentum bagus untuk mengusir dia dan memintanya untuk tidak menjepretkan kamera itu ke wajah kami. Tetapi saat kami secara terburu-buru masuk kendaraan yang kami sewa yang terparkir di depan Masjid Keraton, kami merasa bersyukur bahwa kameramen itu berhasil kami tinggalkan.
Namun, setelah beberapa menit kendaraan menggalkan tempat parkir menuju destinasi wisata berikutnya, kami tersadar bahwa fotografer itu ternyata membututi kami dengan sepeda motornya. Termasuk ketika kami sedang berada di lokasi wisata. Dan karena sulit kami melepaskan diri dari jepretannya, maka saya memutuskan agar dialah yang terus menerus menjepret atau mengambil foto ketika kami semua harus diambil gambarnya.
Ketika saya memintanya untuk mengambil gambar kami, yang terpikir oleh saya adalah tentang harga foto yang nantinya harus kami tebus. Ada kekawatiran kalau nanti harga yang ditawarkan terlalu mahal. Bukankah sekarang zaman digital? Untuk apa membeli foto yang dicetak dengan harga yang mahal? Namun ketika saya berpikir bahwa kami tetap punya posisi untuk menawar harga yang nantinya dia tawarkan, maka saya memberanikan diri untuk memintanya memfoto kami pada posisi yang kami inginkan.
Indra Menunggu Kami di Depan Toko Batik
Ketika perjalanan berada di Kampung Batik, karena beberapa dari kami yang kalap melihat barang bagus dan relatif miring harganya, lupalah kami dengan tukang foto itu. Hingga ketika saya yang pertama kali kelar dalam berburu di toko batik tersebut dan bergegas menuju Masjid yang kebetulan berada persis di depan toko, tanpa saya sendiri sadari, datanglah tukang foto itu sembari menarahkan saya untuk duduk di dekatnya.
"Silahkan disini Pak." Ajaknya baik sekali. Saya hampir tidak sadar kalau orang yang mempersilahkan itu adalah si tukang foto. Kesadaran itu baru lahir setelah saya dengan lekat memandang wajahnya.
"Loh, Mas kok tahu kalau kami disini?" Dia tidak menjawab pertanyaan saya sama sekali keculai senyumnya yang sepertinya menyampaikan pesan akan rasa kemenangan dan seolah mengabarkan bahwa ia telah menaklukkan kami yang terus berpindah lokasi.
"Iya Pak, saya harus cepat-cepat mengejar rombongan Bapak. Sampai kehujanan di jalan tadi." Katanya setalah kami sama-sama duduk di teras masjid.
"Semua basah Pak. Saya lupa membawa mantel hujan." Katanya lebih lanjut.
"Jadi berapa foto yang akhirnya tercetak Mas Indra?" Tanya saya setelah tahu siapa namanya.
"Kalau borongan tiga ribu limaratus saja Pak." Begitu akhirnya harga yang kami sepakati. Dalam hati haya benar-benar kagum dengan tukang foto itu. Daya juangnya layak sekali untuk saya kagumi.
Jakarta, 25-26 Maret 2013.
No comments:
Post a Comment