Ada cerita dari teman jauh tentang bagaimana sebuah amanah yang tidak terlalu digenggam erat, bahkan cenderung didiamkan tanpa gerak, sehingga berlajalannya waktu maka semakin hilang pula rasa mempercayai si pemberi amanah kepada si pemegang amanah tersebut. Dan seperti dalam sejarah perjalanan hidup yang lainnya, maka penyesalan akan hilangnya porsi amanah yang diberikan akan semakin menjadi kenyataan.
Peristiwa itu berawal dari tawaran untuk mengembangkan sebuah lembaga pendidikan yang telah berjalan dan berkontribusi lama sebelum kedatangannya. Sudah eksis. Dengan berbagai negosiasi dan diskusi, maka akad alih tanggung jawab itu mulailah ketika temannya teman itu menerima tawaran yang diberikan.
Namun dalam perjalanan waktu, langkah-langkah yang telah dilakukan bersama semua komponen yang ada di lembaga pendidikan yang telah berada sepenuhnya dalam pundak amanahnya itu, belum juga menampakkan hasil yang positif. Pelatihan, diskusi, simulasi, dan perumusan infrastruktur moderen dalam lembaga yang telah dijalani bersama itu hampir-hampir tidak memperlihatkan gerakan sebagaimana yang diimpikannya.
Bahkan semakin hari, terasa baginya adanya sebuah aura penentangan terhadap program, arahan, dan proses perubahan yang menjadi visi keberadaannya di dalam lembaga tersebut. Baik dalam bentuk penentangan diam-diam dan terselubung seperti dalam bentuk 'cibiran' atas kompetensinya yang berasal dari sebuah sekolah 'kaya', juga terhadap konsep yang diusungnya. Juga adanya aura penolakan yang lebih terbuka terhadap keberadaannya di lembaga tersebut secara lebih terbuka ketika diskusi dilakukannya.
Amanah sudah di Tepi Tebing
Apa yang sedang dialami oleh teman itu, adalah sebuah peristiwa normal dalam sebuah perubahan organisasi. Banyak contoh yang dapat kita temukan dalam buku manajemen praktis yang ditulis oleh Renald Khasali. Dan dari kazanah itu, seyogyanya kita agar berpikir lebih keras lagi dalam menerapkan model perubahan yang diinginkan terhadap organisasi yang sudah terlanjur 'besar' dan eksis.
Namun tampaknya itulah yang terjadi. Teman seperti merasakan berjuang sendirian dalam memegang amanah tersebut. Dan ketika ia sedikit mendapat tantangan dalam bentuk gelombang anti perubahan, merasakannya sebagai penolakan. Yang akhirnya memupus dan bahkan mengikis semangatnya yang pernah berkobar ketika ia meninggalkan lembaga tempat mengapdi sebelumnya. Dan pengikisan tersebut menjadikannya seperti kerdil sehingga harus menarik diri dari sebuah gelanggang yang seharusnya ia dalangi.
Itulah sebuah akhir perjalanan bagi seorang yang sebenarnya dan semula diimpikan sebagai sosok pengubah. Sosok restoratif bagi sebuah lembaga pendidikan yang diharapkan kembali menjadi lebih berkibar.
Dalam catatan ini, saya ingin berpesan kepada pembawa perubahan itu, agar tetap membangun sinergi dengan perubahan dan atmosfernya secara inheren. Lahir dan batinnya secara total. Karena tanpa ketotalan, maka semangat perubahan akan sirna sebelum perubahan itu benar-benar dapat diwujudnyatakan.
Tekad seperti ini tidak lain untuk memelihara agar supaya amanah yang diberikan orang tidak berada di tepi tebing. Semoga.
Tekad seperti ini tidak lain untuk memelihara agar supaya amanah yang diberikan orang tidak berada di tepi tebing. Semoga.
Jakarta, 4 Maret 2013.
No comments:
Post a Comment