Sebagai orang yang berlatar belakang politik, saya agak sedikit terganggu juga dengan realita di koran atas perilaku para anggota baru yang tidak lebih dan kurang sedang menyampaikan praktek dari unsur demokrasi, yaitu musyawarah mufakat dan voting. Menarik sekali untuk saya dapat memahami apa yang sesungguhnya maksud dan makna dari musyawarah mufakat dan voting itu selain dari kamus. Karena adu argumentasi atas makna dari dua hal tersebut itu justru telah memberikan kepada saya bagaimana pengertian orang-orang dari anggota baru itu menyiratkan makna dari dua hal tersebut.
Dua kubu yang ada sesungguhnya telah memberikan makna yang hakiki kepada saya tentang dua hal tersebut, yaitu musyawarah mufakat dan voting. Karena kubu yang saya bersikeras untuk megambil keputusan hanya berbasis dengan musyawarah mufakat saja. Sedang kubu yang lainnya tidak kalah kerasnya untuk juga membuka peluang voting jika musyawarah tidak berujung kepada mufakat. Seru bukan?
Lebih seru (baca: lucu) lagi, kalau ada yang HANYA ingin mengambil kesimpulan dengan cara musyawarah mufakat tetapi juga dengan menggunakan syarat HARUS(?). Artinya proses harus menggunakan musyawawah mufakat tetapi yang diputuskan harus INI (?).
Memilih 10 dari 25 Karakter
Di awal tahun pelajaran 2005/2006 yang lalu, kami punya pengalaman bersama guru dalam mempersempit atau meyedikitkan karakter siswa yang akan menjadi tujuan pembalajaran dan juga pembiasanaan kami di kelas. Namun kala itu ada kendala yang harus kami putuskan. Kendala tersebut tidak lain adalah karena setelah hasil diskusi yang banyak dari teman-teman yang masuk dalam komite kerja, terdapat 25 karakter yang harus kami belajarkan. Dan jumlah itu menurut kami, terlalu banyak.
Argumentasinya adalah, karena karakter yang akan dibelajarkan terhitung banyak, maka kami benar-benar kawatir bahwa karakter-karakter yang kami belajarkan tersebut tidak mampu kami ingat. Nah kalau mengingat karakternya saja kami kesulitan maka bagaimana kami bisa memahami setiap karakter? Bagaimana juga kami bisa mengaplikasikannya dalam kebiasaan sehari-hari kami? Bagaimana kami dapat menjadikan karakter-karakter yang kami punya tersebut sebagai landasan berbuat baik?
Atas itulah maka kami berkumpul untuk memutuskan mengurangi jumlah karakter yang akan menjadi fokus pembelajaran. Dan jumlah yang kami sepakati adalah 10 karakter. Namun setelah kami bermusyawarah kepada semua guru yang ada, sulit dicapai kata sepakat atau mufakat karakter apa saja yang 10 itu dari 25 karakter yang ada sebelumnya. Alasannya? Semua teman sepakat bahwa semua karakter yang 25 itu, adalah karakter yang sangat penting dan bagus.
Karena kata mufakat tidak juga kami dapati, maka semua teman tetap dapat membuat keputusan, jadi tidak mewakilkan kepada siapapun, kami meminta kepada semuanya untuk memilih masing0-masing 10 karakter yang dalam pandangannya paling bagus dari yang bagus itu. Hasil pilihan teman-teman itu, kemudian saya rekap. Dan karakter yang paling banyak dipilih teman-teman, kami buatkan rankingnya. Dari situlah 10 karakter terpilih dari 25 karakter yang ada dapat kami jadikan kesimpulan musyawarah dan diskusi kami.
Berkaca dari peristiwa itu, kami melihat di anggota terhormat sekarag ini sedang mencoba memberi makna demokrasi pada dua hal tersebut di atas. Yaitu musyawarah untuk mufakat dan voting...
Memilih 10 dari 25 Karakter
Di awal tahun pelajaran 2005/2006 yang lalu, kami punya pengalaman bersama guru dalam mempersempit atau meyedikitkan karakter siswa yang akan menjadi tujuan pembalajaran dan juga pembiasanaan kami di kelas. Namun kala itu ada kendala yang harus kami putuskan. Kendala tersebut tidak lain adalah karena setelah hasil diskusi yang banyak dari teman-teman yang masuk dalam komite kerja, terdapat 25 karakter yang harus kami belajarkan. Dan jumlah itu menurut kami, terlalu banyak.
Argumentasinya adalah, karena karakter yang akan dibelajarkan terhitung banyak, maka kami benar-benar kawatir bahwa karakter-karakter yang kami belajarkan tersebut tidak mampu kami ingat. Nah kalau mengingat karakternya saja kami kesulitan maka bagaimana kami bisa memahami setiap karakter? Bagaimana juga kami bisa mengaplikasikannya dalam kebiasaan sehari-hari kami? Bagaimana kami dapat menjadikan karakter-karakter yang kami punya tersebut sebagai landasan berbuat baik?
Atas itulah maka kami berkumpul untuk memutuskan mengurangi jumlah karakter yang akan menjadi fokus pembelajaran. Dan jumlah yang kami sepakati adalah 10 karakter. Namun setelah kami bermusyawarah kepada semua guru yang ada, sulit dicapai kata sepakat atau mufakat karakter apa saja yang 10 itu dari 25 karakter yang ada sebelumnya. Alasannya? Semua teman sepakat bahwa semua karakter yang 25 itu, adalah karakter yang sangat penting dan bagus.
Karena kata mufakat tidak juga kami dapati, maka semua teman tetap dapat membuat keputusan, jadi tidak mewakilkan kepada siapapun, kami meminta kepada semuanya untuk memilih masing0-masing 10 karakter yang dalam pandangannya paling bagus dari yang bagus itu. Hasil pilihan teman-teman itu, kemudian saya rekap. Dan karakter yang paling banyak dipilih teman-teman, kami buatkan rankingnya. Dari situlah 10 karakter terpilih dari 25 karakter yang ada dapat kami jadikan kesimpulan musyawarah dan diskusi kami.
Berkaca dari peristiwa itu, kami melihat di anggota terhormat sekarag ini sedang mencoba memberi makna demokrasi pada dua hal tersebut di atas. Yaitu musyawarah untuk mufakat dan voting...
Jakarta, 4 Nopember 2014.
No comments:
Post a Comment