Pada saat bertemu di siang itu, teman saya yang sekarang sedang mengemban amanah sebagai Kepala Sekolah di sebuah sekolah swasta di Jakarta bercerita panjang lebar tentang hari-harinya di sekolah. Baik yang berkenaan dengan tugas-tugas barunya sebagai Kepala Sekolah, tentang para siswanya, dan tentunya tentang teman-teman gurunya. Semua asyik untuk saya simak dan jadikan pelajaran buat saya sendiri.
Ini tidak lain karena apa yang menjadi bahan ceritanya pada saat itu adalah sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan posisi kerja saya di kantor. Setidaknya, cerita teman itu dapat saya jadikan cermin untuk berkaca tentang apa yang terjadi di lapangan. Itulah yang saya selalu membuat saya bersemangat untuk menyimak apa yang menjadi kisah teman-teman di lapangan kerjanya.
"Saya diprotes oleh para siswa kelas delapan karena kinerja guru." Begitu kalimat pembuka dari cerita itu.
"Ini karena guru tidak mampu melakukan pembelajaran yang kondusif. Ini menjadi tantangan baru buat saya." Lanjutnya di siang itu. Sebuah kisah yang normal bagi seorang Kepala Sekolah.
"Apa yang menjadi kendala guru untuk tidak mampu melakukan kontrol kelas sehingga pembelajaran tidak dapat berlangsung dengan kondusif? Persiapannya kurang?" Begitu papar saya untuk membuat suasana menjadi timbal balik. Selain juga bermaksud untuk memberikan bantuan jalan keluar, jika memungkinkan, atas cerita yang sedang disampaikan.
"Persiapannya justru relatif paling bagus dibanding teman-temannya. Bahkan presentasi dengan power point pun dia buat buat dengan detil dan cermat." Jelas teman saya.
"Saya menduga, karena dorongan nafsunya yang fokus kepada ketersampaian materi pelajaran saja, maka ia seperti tidak melihat apa yang seharusnya ia lakukan ketika di dalam kelas." Lanjut Kepala Sekolah itu.
Diskusi itu masih berlanjut panjang. Sehingga dari situlah kami dapat menemukan bahwa betapa guru juga harus rileks atas tugas yang harus diembannya dengan bertatap muka dengan peserta didiknya, meski tetap dan selalu serius atas bahan ajarnya. Sikap rileks itu akhirnya akan memungkinkan dirinya berinteraksi secara wajar di kelas, hingga siswa juga menjadi fokus yang lain.
Ini penting, karena interaksi guru dan peserta didiknya di kelas adalah interaksi pendidikan dan bukan saja pengajaran. Karena jika hanya bertumpu pada pengajaran, maka sesungguhnya apa yang guru itu sudah lakukan sudah tuntas. Dan tidak perlu kehadiran protes siswa. Namun karena interaksi pendidikan, maka protes siswa menjadi sangat wajar.
"Lalu bagaimana langkah berikut setelah ada protes siswa?" Tanya saya untuk kembali fokus kepada ceritanya.
"Saya akan menjadi model buat dia di kelas. Saya mengajar pelajaran yang telah dibuat rencananya. Dan dia akan mengobservasi selama itu berlangsung." Kata Ibu Kepala Sekolah itu. Saya salut rencana itu. Bagus dan tepat. Memberi choaching.
Jakarta, 9 Nopember 2014.
No comments:
Post a Comment