Dalam sebuah kesempatan saya untuk berkunjung ke sebuah sekolah yang pada tahun 2003 lalu, untuk pertama kalinya saya mengenalnya, adalah sebuah kesempatan yang sungguh menyenangkan. Pertemuan tersebut tentunya menjadi sebuah rieuni bagi saya. Meski pertemuan untuk kali kedua ini hanya ada tiga guru yang masih mengenal saya sepuluh tahun yang lalu.
Karena pertemuan tahun 2003 lalu, yang merupakan pertemuan kali pertama, sekolah yang berada di sebuah lokasi di kota Medan itu datang ke pelatihan guru yang saya selenggarakan di Jakarta, sekolah ini dipipin langsung oleh Pembina Yayasannya, yaitu Ibu Profesor Mundiyah Mochtar. Maka tidak ada kata lain bagi saya saat bisa datang langsung ke Medan untuk bersilaturahmi dengan semua komponen sekolah itu.
Meski tidak lama kami berada di sekolah itu, tetapi saya mendapatkan kesan yang dalam tentang ruh yang mengawali pada saat sekolah ini didirikan oleh almarhumah pendirinya, tentang bagaimana semangat membara yang menjadikannya sekolah ini tetap eksis, juga tentang bagaimana sang putra menjunjung tinggi semangat itu bersama guru-guru yang ada untuk menjadi lebih tumbuh lagi, dan tentunya bagaimana berkembangnya sekolah itu.
Semua yang saya lihat dan dengar langsung pada saat itu, menjadi bagian pembelajaran bagi saya. Belajar untuk menjadi pemikir yang lebih koprehensif. Berpikir divergen. Belajar untuk dapat meilihat sebuah obyek dengan laca mata jauh lebih lebar. Inilah pelajaran berharga. Karena selain sebaai pegawai yang ada di sekolah, pastilah saya menjadi bagian masyarakat pada umumnya.
Melihat infrastruktur sekolah, yang terdiri dari akses, lahan, gedung sekolah, dan fasilitas sekolah lainnya, saya sungguh mengaguminya. Tampaknya perkembangan yang sudah ada ini masih akan terus berkembang. Mengingat tingkat pendidikan yang ada baru pada tingkat SMP.
Melihat teman-teman gurunya yang antusias dan semangatnya, saya menjadi iri dengan apa yang menjadi visi teman-teman itu dalam berbakti kepada bangsa dan saudaranya melalui wahana lembaga itu. Ini mungkin yang menjadi salah satu kunci bagi perkembangan sekolah ini kedepannya. Teman-teman guru menampakkan bahwa bekerja sebagai pembimbing bagi para anak didiknya tidak hanya berhenti pada mengumpulkan uang sebagai imbalan.
Bagaimana tidak merasa kagum dengan mereka, mereka telah memulai berinteraksi dengan para anak didiknya sejak pukul 07.00, pada saat anak didiknya itu hadir di sekolahan, dan baru selesai pada saat siswanya pulang pada pukul 16.00!
Melihat dari semangat para pengelolanya, saya bertambah iri atas apa yang menjadi ketulusan mereka dalam memperjuangkan pelayanan dan mensejahterakan. Sungguh mereka adalah sosok-sosok yang luasan keiklhasannya tiada terkira. Karena inilah bagian penting dari sebuah sikap bagi para pengelola lembaga usaha sosial untuk terus tidak mudah putus asa dalam memegang teguh rasa ikhlas.
Sekolah Mahal
"Apakah masih ada orangtua yang menyampaikan bahwa sekolah ini mahal?" Begitu pertanyaan saya kepada teman-teman itu. Pertanyaan ini tentunya menggelitik saya. Karena rentang waktu anak-anak berada di sekolah lumayan panjang. Demikian juga dengan jatah makanan kecil yang dua kali dalam sehari plus dengan makan siangnya. Lalu berapa uang sekolah yang harus dibayar oleh peserta didik? Untuk rentang waktu belajar dan semua makan yang disediakan itu, orangtua siswa membayarnya dengan Rp 550,000.
Dengan penjelasan yang disampaikan, saya memastikan bahwa dengan iuran bulanan sebesar itu, maka harus dibutuhkan kemampuan para pengelola sekolah untuk lebih canggih dalam mengalokasikan dana bulanan tersebut. Mengapa? Kalau sekali makan dan dua kali makanan kecil tersebut dikalkulasi Rp. 15,00 per hari per anak didik, maka dalam 22 hari sekolah setiap anak didik membutuhkan uang konsumsi yang diambil dari uang iuran bulanan tersebut adalah Rp. 15,000 x 22= Rp.330,00. Artinya, sisa uang iuran yang dapat dialokasikan sebagai biaya operasional adalah Rp. 550,0000 - Rp. 330,000=Rp. 220,00. Jika dengan rasio jumlah guru berbanding siswa adalah 1:12, maka disitulah kepandaian para pengelola sangat dibutuhkan.
Dengan kondisi seperti itulah, maka dana APBN yang bernama BOS, menjadi begitu bermaknanya terhadap operasional sekolah. Sedang untuk para gurunya, mereka juga harus menjadi perhatian utama bagi perkembangan kualitas sekolah di masa yang akan datang. Karena berbasis kepada teman-teman guru yang militan saja keberadaan anak didik sejak pagi hingga setelah waktu Ashar dapat dilaksanakan dengan penuh dedikasi.
Sedang dari sisi pihak orangtua, yang menghantarkan putra-putrinya pagi ke sekolah dan mengambilnya sore setelah jam kantor usai, benar-benar mendapatkan manfaat yang sesuai dengan keinginannya. Maka dalam kondisi seperti itu, apakah layak saya katakan bahwa sekolah itu mahal?
Jika demikian halnya, maka dari manakah saya dapat menyebutkan bahwa sekolah itu masuk dalam golongan sebagai seklah mahal?
Dengan penjelasan yang disampaikan, saya memastikan bahwa dengan iuran bulanan sebesar itu, maka harus dibutuhkan kemampuan para pengelola sekolah untuk lebih canggih dalam mengalokasikan dana bulanan tersebut. Mengapa? Kalau sekali makan dan dua kali makanan kecil tersebut dikalkulasi Rp. 15,00 per hari per anak didik, maka dalam 22 hari sekolah setiap anak didik membutuhkan uang konsumsi yang diambil dari uang iuran bulanan tersebut adalah Rp. 15,000 x 22= Rp.330,00. Artinya, sisa uang iuran yang dapat dialokasikan sebagai biaya operasional adalah Rp. 550,0000 - Rp. 330,000=Rp. 220,00. Jika dengan rasio jumlah guru berbanding siswa adalah 1:12, maka disitulah kepandaian para pengelola sangat dibutuhkan.
Dengan kondisi seperti itulah, maka dana APBN yang bernama BOS, menjadi begitu bermaknanya terhadap operasional sekolah. Sedang untuk para gurunya, mereka juga harus menjadi perhatian utama bagi perkembangan kualitas sekolah di masa yang akan datang. Karena berbasis kepada teman-teman guru yang militan saja keberadaan anak didik sejak pagi hingga setelah waktu Ashar dapat dilaksanakan dengan penuh dedikasi.
Sedang dari sisi pihak orangtua, yang menghantarkan putra-putrinya pagi ke sekolah dan mengambilnya sore setelah jam kantor usai, benar-benar mendapatkan manfaat yang sesuai dengan keinginannya. Maka dalam kondisi seperti itu, apakah layak saya katakan bahwa sekolah itu mahal?
Jika demikian halnya, maka dari manakah saya dapat menyebutkan bahwa sekolah itu masuk dalam golongan sebagai seklah mahal?
Jakarta, 16 Oktober 2013.
No comments:
Post a Comment