Dulu sekali, ketika saya masih duduk di bangku SMP di desa, membaca adalah sebuah hal yang mewah. Mengapa? Karena seingat saya, dengan membaca itu berarti saya tidak bekerja untuk membantu orangtua. Jadi membaca merupakan kegiatan untuk 'membunuh' waktu luang. Tapi saya kemudian tidak menyepakati anggapan itu. Meski teman sepermainan saya waktu itu membantu orangtua dengan cara menyabit rumput di pingir sungai Bogowonto, keinginan saya untuk dapat menikmati buku itu mulai terwujud ketika sekolah dimana saya belajar bocor ketika hujan deras turun.
Berkah sekolahan yang bocor itu karena buku-buku yang disimpan di lemari yang ada di ruang kepala sekolah harus dijemur di halaman sekolah oleh pramubakti sekolah yang juga adalah tetangga di kampung saya. Buku-buku itu dijemur dengan cara diletakkan di atas meja atau kursi dalam posisi terbuka. Bapak pramubakti sekolah akan mencoba mengamankan buku-buku yang dijemurnya itu ketika ada anak-anak mendekat atau bahkan membuka-bukanya. Tidak terkecuali saya.
Bersyukur juga bahwa saya punya kesempatan untuk membuka-buka buka itu tanpa harus mendapat peringatan dari bapak pramubakti sekolah. Leluasalah saya membuka buku yag sangat bagus kala itu. Buku yang berkisah tentang Bumi dan Alam Sekitarnya, dengan gambar berupa foto disertai ilustrasi lengkap pada setiap gambarnya. Dan tanpa membuang kesempatan, saya buka seluruh hlman di buku itu di bawah terik matahari siang di tengah lapangan sekolah.
Mencerdaskan?
Kegemaran membaca itu berlanjut ketika saya memulai menjadi guru SD di Jakarta. Karena buku juga masih menjadi barang yang tidak mudah saya miliki, maka membaca rubrik opini dan cerita bersambung di surat kabar harian menjadi rutinitas baru ketika jam kosong mengajar. Tentu surat kabar harian langganan sekolah atau langganan keluarga yang saya tumpangi. Menyengkan, menggairahkan, dan menumbuhkan wawasan ketika semua artikel itu dicerna di kepala. Membaca trilogi Ronggeng Dukuh Paruknya Ahmad Tohari, atau Menjadi dan Memilikinya Erick Form misalnya, adalah dua cerita yang menggugah semangat saya untuk terus menikmati dunia melalui bacaan.
Namun kadangkala menggemaskan ketika harus menemui fakta berita yang tidak selaras di benak saya sebagai anak muda kala itu. Gemas karena nasib orang yang seharusnya menjadi obyek pembelaan dan pemberdayaan agar supaya menjadi bagian masyarakat yang mentas, malah justru dihinakan.
Namun demikian, ketika pertumbuhan terus berlangsung, maka berita, opini, kejadian, dan peristiwa yang terus berlangsung selama ini, adalah bentuk keberlangsungan sebuah kehidupan. Ia tidak akan pernah kata jeda, berhenti, tau bahkan titik. Ia akan terus mengalir. Dan penulis akan menjadikanya sebagai bahan bacaan bagi kita. Inilah pejalanan dunia.
Pada sisi itulah sya akhirnya duduk dan berkidmat, bahwa kejadian dan peristiwa itu bergantung kepada bagamana dan dari mana kita berdiri dan melihatnya. Apakah itu sebagi bahan kita untuk mencaci dan memaki? Apakah itu akan menjadi bahan buat kita dalam meihat bagaimana sebuah sistem kausalitas bekerja di alam raya? Apakah seua yang kita baca itu sebagai masukan untuk kita dalam menapaki perjalanan ke depan kita sendiri?
Tampaknya inilah yang harus menjadi perenungan untuk saya dalam melihat kegiatan saya membaca. Sebuah aktivitas untuk melihat bagaimana rangkaian sebab akibat itu bekerja menurut kausalitas ilahiyah.
Jakarta, 4 September 2013.
No comments:
Post a Comment