"Bagaimana membuat anak-anak dapat dengan tertib berada di lhall pada saat kegiatan berlangsung Pak?" Demikian salah satu pertanyaan tamu yang mengunjungi sekolah kami pada pekan lalu. Tamu kami berjumlah enam puluh orang itu datang tiga tempat yang berbeda. Mereka adalah guru-guru dari sekolah swasta di Sumatera dan Depok.
Lalu apa yang menjadi jawaban kami? Saya sendiri natural sekalli jika harus menjawab pertanyaan seperti itu. Natural yang saya maksudkan adalah, bahwa selama ini yang kami usaha dan lakukan bersama teman-teman dalam rangka membentuk kultur kerja, sebagaimana menjawab pertanyaan tersebut, adalah alami. Mungkn seperti mereka juga di sekolah mereka masing-masing. Lalu kok mereka bertanya kepada kami? Apakah mungkin ada yang berbeda yang kemudian melahirkan pertanyaan itu?
Saya menduga bahwa pertanyaan itu hadir ketika teman-teman dari Sumatera dan Depok itu melihat anak-anak kami begitu terlihat rapi dan siap ketika mereka datang di lokasi untuk ikrar pagi di ruang pertemuan kami. Sebuah pemandangan yang terasa asing bagi mereka melihat anak-anak dapat berbaris tenang menurut kelasnya masing-masing menuju lokasi ikrar tersebut.
Kerapian itulah yang menurut mereka menjadi sesuatu yang berbeda, yang kemudian mereka tanyakan. Mereka melihat bahwa itu sebuah capaian yang positif. Mungkin sebuah realita yang bertolak belakang dan berbeda dengan kenyataan di sekolah mereka masing-masing(?). Allahu a'lam bi shawab.
Rapi itu Dari Kelas
Sebagai jawaban atas pertanyaan itu, maka mungkin inilah gambaran apa yang kami lakukan. Sebuah ilustrasi yang mudah-mudhan dapat dicerna sebagai sebuah upaya menuju aa yang kami impikan.
Bahwa usaha untuk menuju kultur yang kami impikan bersama itu, sejak awal kami memang mengajak teman-teman guru agar ketika pagi saat akan melaksanakan ikrar siswa atau jika akan melaksanakan upacara di hari Senin, atau ketika akan melaksanakan shalat jamaah di waktu Dhuhur, maka semua kita, guru yang ada di semua kelas, harus menjadi bagian awal untuk menciptakan kerapian siswa tersebut. Prinsip ini, mau tidak mau mewajibkan semua penanggungjawab kelas untuk berlaku seragam dan kompak, atau mungkin dapat dibahasakan sebagai komitmen, dalam melaksanakan mimpi rapi itu.
Dengan komitmen tersebut, kami mencoba untuk mewujudkan sebuah orkestrasi kerjasama yang apik. Ini tidak lain karena kerapian dan kedisiplinan sebuah kelas, merupakan kapital utama bagi sebuah kultur yang bernama kerapian sekolah. Demikian yang menjadi pegangan kami.
Nampaknya, apa yang menjadi paradigma kami di awal-awal tahun kebaradaan kami itu, dapat menjadi komitmen kami sebagai guru di kelas, sehingga itulah yang menarik untuk ditanyakan oleh para tamu kepada kami.
"Mengapa Bapak pertanyakan itu kepada kami?" begitu saya balik bertanya kepada para tamu itu.
"Karena kami masih perlu benar-benar membuat kondisi sebagaimana yang saya lihat terhadap anak-anak di sini terjadi di sekolah kami kelak ketika kami kembali ke sekolah Pak." jelas perwakilan tamu itu mantap.
Dalam benak, terlintas sebuah kesimpulan; bahwa menjadikan anak siap dalam mengikuti ikrar pagi di sekolah, juga adalah sebagai pembeda sekolah kami dengan yang ada di tempat lain...
Jakarta, 14 Oktober 2013.
Lalu apa yang menjadi jawaban kami? Saya sendiri natural sekalli jika harus menjawab pertanyaan seperti itu. Natural yang saya maksudkan adalah, bahwa selama ini yang kami usaha dan lakukan bersama teman-teman dalam rangka membentuk kultur kerja, sebagaimana menjawab pertanyaan tersebut, adalah alami. Mungkn seperti mereka juga di sekolah mereka masing-masing. Lalu kok mereka bertanya kepada kami? Apakah mungkin ada yang berbeda yang kemudian melahirkan pertanyaan itu?
Saya menduga bahwa pertanyaan itu hadir ketika teman-teman dari Sumatera dan Depok itu melihat anak-anak kami begitu terlihat rapi dan siap ketika mereka datang di lokasi untuk ikrar pagi di ruang pertemuan kami. Sebuah pemandangan yang terasa asing bagi mereka melihat anak-anak dapat berbaris tenang menurut kelasnya masing-masing menuju lokasi ikrar tersebut.
Kerapian itulah yang menurut mereka menjadi sesuatu yang berbeda, yang kemudian mereka tanyakan. Mereka melihat bahwa itu sebuah capaian yang positif. Mungkin sebuah realita yang bertolak belakang dan berbeda dengan kenyataan di sekolah mereka masing-masing(?). Allahu a'lam bi shawab.
Rapi itu Dari Kelas
Sebagai jawaban atas pertanyaan itu, maka mungkin inilah gambaran apa yang kami lakukan. Sebuah ilustrasi yang mudah-mudhan dapat dicerna sebagai sebuah upaya menuju aa yang kami impikan.
Bahwa usaha untuk menuju kultur yang kami impikan bersama itu, sejak awal kami memang mengajak teman-teman guru agar ketika pagi saat akan melaksanakan ikrar siswa atau jika akan melaksanakan upacara di hari Senin, atau ketika akan melaksanakan shalat jamaah di waktu Dhuhur, maka semua kita, guru yang ada di semua kelas, harus menjadi bagian awal untuk menciptakan kerapian siswa tersebut. Prinsip ini, mau tidak mau mewajibkan semua penanggungjawab kelas untuk berlaku seragam dan kompak, atau mungkin dapat dibahasakan sebagai komitmen, dalam melaksanakan mimpi rapi itu.
Dengan komitmen tersebut, kami mencoba untuk mewujudkan sebuah orkestrasi kerjasama yang apik. Ini tidak lain karena kerapian dan kedisiplinan sebuah kelas, merupakan kapital utama bagi sebuah kultur yang bernama kerapian sekolah. Demikian yang menjadi pegangan kami.
Nampaknya, apa yang menjadi paradigma kami di awal-awal tahun kebaradaan kami itu, dapat menjadi komitmen kami sebagai guru di kelas, sehingga itulah yang menarik untuk ditanyakan oleh para tamu kepada kami.
"Mengapa Bapak pertanyakan itu kepada kami?" begitu saya balik bertanya kepada para tamu itu.
"Karena kami masih perlu benar-benar membuat kondisi sebagaimana yang saya lihat terhadap anak-anak di sini terjadi di sekolah kami kelak ketika kami kembali ke sekolah Pak." jelas perwakilan tamu itu mantap.
Dalam benak, terlintas sebuah kesimpulan; bahwa menjadikan anak siap dalam mengikuti ikrar pagi di sekolah, juga adalah sebagai pembeda sekolah kami dengan yang ada di tempat lain...
Jakarta, 14 Oktober 2013.
No comments:
Post a Comment