Itulah pertanyaan yang saya dapat dari seorang tamu sekolah, yang adalah teman saya juga, yang ketulan berasal dari luar kota. Kunjungannya di sekolah ini menjadi bagiain penting bagi kami dalam berbagi ilmu. Setidaknya bukan mereka yang menjadi tamu saja yang belajar dari kami, tetapi nampaknya kamipun banyak belajar dari mereka. Sebagaimana pertanyaannya itu, adalah sumber atau mungkin tepatnya simpul agar kami memetik pelajaran. Karena pertanyaan itu memancing kami untuk merefleksi diri dan menerutkan dahi guna menemukan jawabannya.
Namun dari seluruh pertanyaan dan pernyataannya, saya sungguh kagum akan apa yang menjadi komitmennya di dunia pendidikan, pada umumnya, dan pendidikan formal swasta pada khususnya. Sebuah lahan yang menurut saya selain hitungan, usaha, dan doa, juga membutuhkan keyakinan yang total akan kekuatan doa itu sendiri.
Itulah hal yang menjadi penting bagi saya selama dialog antara kami, yang kebetulan sebagai tuan rumah, dan tamu, yang berasal dari luar kota. Pernyataan ada pertanyaannya yang sunguh menggugah hati saya adalah;
"Bagaimana Bapak bisa menjadikan uang masuk sekolah setinggi ini dalam jangka waktu lebih kurang 10 tahun?"
Kaget Menjadi Mahal
Terus terang bahwa kami tidak pernah secara benar-benar merasakan perbandingan seperti itu dalam tataran aura yang begitu menjadikan kami sendiri kaget. Kekagetan kami adalah betapa menjadinya mahal biaya pendidikan itu? Bagaimana tidak? Biaya yang sebelumnya masih di kepala 4 di tahun 2003 menjadi 24 ketika disepuluh tahun sesudahnya?
Tapi sebentar, perbandingan itu adalah perbandingan individual dalam kurun waktu yang berbeda. Dalam hal ini, kurun waktu yang diperbandingkan dalam rentang sepuluh tahun. Maka perkembangan dan pertumbuhan biaya tersebut kegitu mekar. Bagaimana dengan apa yang dialami di luar kami? Apakah terdapat perkembangan angka sebagaimana yang kami alami? Tentunya, jika dalam tataran seperti ini, kami membutuhkan memperlebar penglihatan secara horisontal. Pendek kata, kami perlu melihat bagaimana lembaga yang sejenis kami sebagai pembanding yang kongruen. Ini agar apa yang kami rasakan menjadi berimbang. Kami tidak merasakan begitu terkaget-kagetnya ketika melihat perbedaan angka tersebut.
Meski kami telah mengetahui apa yang seharusnya menjadi bagian dari memperbandingkan sesuatu secara berimbang, pendek kata kami terjerembab pula dengan paradigma pertanyaan yang diajukan tamu kepada kami pada dialog itu.
Jakarta, 1 Oktober 2013.
No comments:
Post a Comment