Saya mendapat telepon dari salah seorang dari sekian orangtua siswa kami, orang yang memang saya sudah kenal sebelumnya. Dan ketika saya angkat teleponnya itu, ia menceritakan tentang keponakannya yang sudah mogok ke sekolah untuk sekian pekan.
"Dia baru masuk sekolah selama dua minggu Pak di tahun pelajaran ini, dan sampai sekarang belum juga mau sekolah. Jumat lalu saya bawa ke sekolah anak-anak dengan tujuan agar dapat ngobrol-ngobrol dengan Bapak. Tetapi kebetulan Bapak tidak hadir. Terus terang saya ikut-ikut pusing juga Pak dengan tingkah polah keponakan itu." Demikian Bapak yang ada di seberang telepon itu bercerita.
Bertemu
Tidak puas berkomunikasi dengan telepon untuk mencoba mencari dan menemukan strategi pengobatan bagi si keponakan, maka pada saat Bapak itu menjemput anandanya ke sekolah kami, bertemulah dengan saya untuk kemudian kita terlibat diskusi yang lumayan menyenangkan. Dan ini sebuah kesempatan bagi saya untuk belajar dengan melihat sebuah kisah. Itulah kisah seorang siswa yang harus mogok untuk tidak mau berangkat ke sekolah. Meski anak itu adalah keponakan dari seorang Bapak yang kebetulan adalah orangtua siswa di sekolah kami.
"Untuk pekan-pekan pertama disaat dia masuk sekolah, maka ayah atau ibunya akan secara bergantian menunggui anak itu di sekolah. Maka ayah atau ibunya itu bergantian cuti atau bahkan izin. Hingga akhirnya mereka berdua yang bekerja sudah terlalu malu jika harus meminta izin di kantor." Kata si Bapak di saat pertemuan di ruangan saya.
"Itulah maka saya harus membantu adik saya itu. Ada masukan dari Pak Agus? Saya sendiri setelah hampir dua bulan ini belum berhasil membujuk keponakan itu kembali ke sekolah, pusing dan buntu juga Pak." lanjutnya. Saya sendiri dengan mendengar kisah itu, ragu-ragu untuk memberikan pendapat, apalagi masukan. Padahal ketika Bapak itu menyampaikan kisahnya, tidak henti-henti juga saya memutar pikiran agar dapat memberikan sedikit bantuan meski itu hanya sebuah ide.
"Bagaimana kalau Bapak bertemu dengan psikolog sekolah? Mungkin dia dapat memberikan bantuan atau setidaknya strategi sebagai jalan keluarnya Pak?" kata saya ketika diskusi berjalan lumayan panjang.
"Dia baru masuk sekolah selama dua minggu Pak di tahun pelajaran ini, dan sampai sekarang belum juga mau sekolah. Jumat lalu saya bawa ke sekolah anak-anak dengan tujuan agar dapat ngobrol-ngobrol dengan Bapak. Tetapi kebetulan Bapak tidak hadir. Terus terang saya ikut-ikut pusing juga Pak dengan tingkah polah keponakan itu." Demikian Bapak yang ada di seberang telepon itu bercerita.
Bertemu
Tidak puas berkomunikasi dengan telepon untuk mencoba mencari dan menemukan strategi pengobatan bagi si keponakan, maka pada saat Bapak itu menjemput anandanya ke sekolah kami, bertemulah dengan saya untuk kemudian kita terlibat diskusi yang lumayan menyenangkan. Dan ini sebuah kesempatan bagi saya untuk belajar dengan melihat sebuah kisah. Itulah kisah seorang siswa yang harus mogok untuk tidak mau berangkat ke sekolah. Meski anak itu adalah keponakan dari seorang Bapak yang kebetulan adalah orangtua siswa di sekolah kami.
"Untuk pekan-pekan pertama disaat dia masuk sekolah, maka ayah atau ibunya akan secara bergantian menunggui anak itu di sekolah. Maka ayah atau ibunya itu bergantian cuti atau bahkan izin. Hingga akhirnya mereka berdua yang bekerja sudah terlalu malu jika harus meminta izin di kantor." Kata si Bapak di saat pertemuan di ruangan saya.
"Itulah maka saya harus membantu adik saya itu. Ada masukan dari Pak Agus? Saya sendiri setelah hampir dua bulan ini belum berhasil membujuk keponakan itu kembali ke sekolah, pusing dan buntu juga Pak." lanjutnya. Saya sendiri dengan mendengar kisah itu, ragu-ragu untuk memberikan pendapat, apalagi masukan. Padahal ketika Bapak itu menyampaikan kisahnya, tidak henti-henti juga saya memutar pikiran agar dapat memberikan sedikit bantuan meski itu hanya sebuah ide.
"Bagaimana kalau Bapak bertemu dengan psikolog sekolah? Mungkin dia dapat memberikan bantuan atau setidaknya strategi sebagai jalan keluarnya Pak?" kata saya ketika diskusi berjalan lumayan panjang.
'Melihat Dunia'
Pada tahapan berikut sdetelah diskusi itu, maka Bapak itu mengajak keponakannya untuk berdiskusi. Anak usia 6 tahun berdiskusi? Tapi itulah yang terjadi. Beberapa pertanyaan sebalagai jalan keluar bagi si mogok itu diajukan sang Pakde kepada keponakannya. Antaralain tentang; Bagaimana kalau ngak masuk-masuk sekolah? Apakah tahun pelajaran depan harus mengulang di kelas 1 SD lagi? Apakah kalau sekian lama tidak masuk sekolah nanti dapat langsung masuk kelas 2? Bagaimana kalau masuk sekolah di sekolah lain alias pindah sekolah? Tapi bagaimana kalau di sekolah yang sudah direncakan itu ternyata kelasnya sudah penuh sehingga tidak bisa lagi menerima siswa baru? Bagaimana kalau kembali memulai sekolah di sekolah yang lama?
Semua pertanyaan yang disampaikan oleh Pakde itu mendapat respon baik dari sang keponakan. Maka pada saat yang ditetapkan, berangkatlah Pakde bersama si keponakan menuju sekolah baru. Mereka bersama menghadap kepala sekolah. Berdialog bersama dengan penuh spontanitas tanpa rekayasa.
Juga menghadap kepala sekolah di sekolah lamanya untuk sekedar beraudiensi. Termasuk juga dengan guru kelasnya yang hampir setengah bulan anak itu berada di dalam kelasnya. Semua ikhtiar itu Bapak tersebut lakukan demi si keponakan yang mogok sekolah.
Siasat Anak Pintar
"Pasti ada sesuatu yang menjadi motivasi mengapa keponakan Bapak itu mogok sekolah." kata saya ketika pertama kali bertemu dengan Bapak yang juga orangtua siswa kami di sekolah itu.
"Dan sebagai anak pintar, maka dia akan berusaha agar motivasinya itu rapi tersimpan dalam album kecerdasannya. Nah, disinilah letak ujian bagi kepintaran kita sebagai orangtua yang ada di sekitarnya untuk menggali dan menemukannya. Mungkin dengan pengetahuan itulah kati dapat memasuki labirin bagi penyembuhan penyakit mogok sekolahnya." kata saya. Allahu a'lam bishawab...
Jakarta, 27 September 2013
Pada tahapan berikut sdetelah diskusi itu, maka Bapak itu mengajak keponakannya untuk berdiskusi. Anak usia 6 tahun berdiskusi? Tapi itulah yang terjadi. Beberapa pertanyaan sebalagai jalan keluar bagi si mogok itu diajukan sang Pakde kepada keponakannya. Antaralain tentang; Bagaimana kalau ngak masuk-masuk sekolah? Apakah tahun pelajaran depan harus mengulang di kelas 1 SD lagi? Apakah kalau sekian lama tidak masuk sekolah nanti dapat langsung masuk kelas 2? Bagaimana kalau masuk sekolah di sekolah lain alias pindah sekolah? Tapi bagaimana kalau di sekolah yang sudah direncakan itu ternyata kelasnya sudah penuh sehingga tidak bisa lagi menerima siswa baru? Bagaimana kalau kembali memulai sekolah di sekolah yang lama?
Semua pertanyaan yang disampaikan oleh Pakde itu mendapat respon baik dari sang keponakan. Maka pada saat yang ditetapkan, berangkatlah Pakde bersama si keponakan menuju sekolah baru. Mereka bersama menghadap kepala sekolah. Berdialog bersama dengan penuh spontanitas tanpa rekayasa.
Juga menghadap kepala sekolah di sekolah lamanya untuk sekedar beraudiensi. Termasuk juga dengan guru kelasnya yang hampir setengah bulan anak itu berada di dalam kelasnya. Semua ikhtiar itu Bapak tersebut lakukan demi si keponakan yang mogok sekolah.
Siasat Anak Pintar
"Pasti ada sesuatu yang menjadi motivasi mengapa keponakan Bapak itu mogok sekolah." kata saya ketika pertama kali bertemu dengan Bapak yang juga orangtua siswa kami di sekolah itu.
"Dan sebagai anak pintar, maka dia akan berusaha agar motivasinya itu rapi tersimpan dalam album kecerdasannya. Nah, disinilah letak ujian bagi kepintaran kita sebagai orangtua yang ada di sekitarnya untuk menggali dan menemukannya. Mungkin dengan pengetahuan itulah kati dapat memasuki labirin bagi penyembuhan penyakit mogok sekolahnya." kata saya. Allahu a'lam bishawab...
Jakarta, 27 September 2013
No comments:
Post a Comment