Agak sedikit kaget saja saya ketika seorang siswi di sekolah kami yang terlambat datang di sekolah, sehingga tidak bisa masuk ke ruang bersama untuk tadarus, mengaku terlambat sampai ke sekolah gara-gara sisir.
"Memang karena sisir Pak yang membuat saya terlambat sampai sekolah. Kemacetan juga. Tetapi untuk saya, terlabat sekolah karena sisir. Ibu saya memaksa saya untuk sisiran terlebih dahulu sebelum berangkat. Jadinya saya telat sampai sekolah." begitu siswi saya berargumentasi mengapa sampai telah datang ke sekolah.
Kaget, karena inilah pengakuan jujur, ngotot, dan sekaligus tidak masuk dalam akal pikiran saya. Mengapa? Bukankah kalau hanya sisir dan sisiran dapat kita lakukan sembari lari menuju gerbang sekolah? Atau sulitkan kita menyisir rambut ketika sedang menumpang kndaraan? Bukankah itu sebuah kegiatan yang boleh saya ketakan sebagai fleksibel?
Tetapi mengapa hal kecil yang sederhana itu justru berbeda ketika berada di tangan seorang siswi saya tersebut? Inilah cerita pagi saya tentang si anak yang sungguh berbeda itu.
Tidak Penyuka Sisir
Keberbedaannya itu karena memang selama ini kita sebagai guru di sekolah selalu melihat bahwa penampilan siswi kami itu hanya satu kurangnya. Dan Ibu-Ibu gurunya sejak dia duduk di bangku SD mendeskripsikan bahwa dia "Satu yang kurang. Yaitu sisir." begitu Ibu Gurunya menjelaskan kepada saya.
Oleh karenanya, meski rambut tebalnya selalu bersih dan potong pendek, sbuah potongan rambut yang palin pas untuk dia, tetapi tampak jelas tidak disisirnya. "Kami pernah komunikasikan kepada Bundanya. an memang itu masalahnya di rumah. Utamanya pagi hari sebelum meningalkan rumah menuju ke sekolah." Begitu jelas Bu Guru lebih lanjut.
Maka tidak lagi aneh sebenarnya jika pagi itu saya menemukan dia duduk di selasar sekolah, di samping ruang serba guna, karena terlambat sekolah sehingga tidak dapat masuk ke ruang serba guna tersebut untuk bergabung dengan teman-temannya yang sedang tadarus pagi.
"Mengapa sampai terlambat?" tanya saya kepadanya setelah saya dekati.
"Karena sisir Pak." jawabnya datar saja.
Jakarta, 26 September 2013.
No comments:
Post a Comment