Sungguh sebuah tontonan yang menarik untuk kami semua, utamanya orang dewasa, tentang bagaimana melihat lucu dan lugunya anak-anak yang baru saja tumbuh dalam sebuah sesi latihan futsal. Ini karena mereka adalah anak-anak yang menjadi siswa kami, yang masih duduk di bangku kelas 3 SD, atau bahkan yang ada di kelas lebih bawah lagi, yaitu kelompok A dan kelompok B di TK, serta anak-anak kelas 1 dan 2 Sekolah Dasar. Sebuah sesi menarik karena dengan bola yang ada di lapangan plus dua tim dengan guru terlihat bersusah payah dalam menarahkan bola.
Meski terlihat dan terdengan bagi kami yang menyaksikannya, bahwa guru yang memandu pada sesi latihan itu tidak berhenti-hentinya memberikan pengarahan terhadap para pemain yang ada di lapangan dengan bolanya. Namun arah bola begitu sulit ditebak akan kemana. Bahkan tidak jarang bola itu menggelinding begitu saja walau seorang anak telah berusaha begitu keras mengyunkan kaki kanannya yang berbalut sepatu futsal yang berharga mahal.
Ini karena para pemain seperti kurang faham dengan kalimat perintah yang guru sampaikan sepanjang permainan. Atau mungkin memang anak-anak itu tidak dapat mendengar apa yang menjadi instruksi guru atau pelatihnya karena mereka begitu konsentrasi dengan bola yang harus mereka mainkan? Meski demikian, tidak ada rasa pantang menyerah bagi guru-guru itu dalam memberikan arahan. Nampak guru dalam setiap saatnya terus menerus memberi dotronmgan dan pengertian agar bola yang ada tersebut harus diapakan. Ini mungkin pas kalau saya menyebutnya sebagai disorientasi.
Dalam sebuah tayangan vedio yang pernah saya lihat, Stephen R Covey, Pengarang buku 7 Habit itu, peristiwa dimana anak-anak d\sedang menggiring bola itu menyebutnya sebagai visi. Maka jika ada dua tim yang sedang bermain, maka mereka sesungguhnya sedang menuju kepada visi timnya masing-masing.
Karena dalam vedio itu diperlihatkan bagaimana anak-anak bermain bola dengan tanpa mengetahui arah kemana bola itu harus dilesakkan ke dalam gawang. Alhasil, pemain justru menendang bola hingga bola itu sendiri menggelinding masuk ke dalam gawang sendiri.
Persis seperti itulah lebih kurangnya dengan apa yang terjadi di lapangan dengan bermainnya anak-anak bersama guru dalam sesi latihan futsal.
Priyayi?
Sungguh saya kurang enak ketika harus menuliskan apa yang sering teman-teman katakan untuk mendeskripsikan betapa anak-anak kita itu layaknya sebagai priyayi. Mengapa? Karena anak-anak itu terlihat sekali tidak atau setidaknya belum memiliki daya juang untuk bersaing. Mereka dengan kondisi 'pengenalan' bola yang masih awam, justru memperlihatkan kepada kita betapa masih banyak tahapan yang harus dilalui. Terutama sekali ketika bola itu datang atau setidaknya menghampirinya. Mengapa mereka justru seperti menghindari bola? Bukankah semestinya bola itu ia songsong lalu di sepak kemanasaja ia mau?
Tapi demikaianlah adanya materi pemain futsal yang da di dalam sebuah tim. Tidak ada yang perlu dipertimbangkan lagi oleh guru yang sedang melatih futsal itu selain satu; keamanan dalam bermain agar anak-anak terhindar dari cidera.
Mungkin bukan cidera yang pas untuk mengungkapkan proteksi kita terhadapnya. Tetapi keamanan agar anak-anak terhindar dari jatuh saat bermain futsal...
Jakarta, 25 September 2013.
No comments:
Post a Comment