Pagi
itu, dengan handuk kecil, saya meninggalkan rumah tepat pukul 08.30. Dengan
rambut yang semakin panjang, tampaknya sudah waktunya saya memangkasnya di
pemangkas rambut pangganan saya. Karena langganan, maka tidak perlu saya
memberikan penjelasan kepadanya model yang saya pilih. Juga pastiya pijatan di
seputar otot belikat yang lebih lama dari yang lain. Serta handuk kecil yang
saya selempangkan di bahu saya. Karena itu adalah handuk yang akan saya gunakan
sebagai penutup tengkuk saya. Dan bukan handuk yang dari tukang pangkasnya.
Trauma
Handuk
Dengan
handuk yang saya bawa sendiri dari rumah itu bukan berarti saya ingin
menyinggung dengan pemangkas rambut langganan itu, tetapi ini sebagai jaga-jaga
setelah saya pernah mengalami pengalaman yang amat sangat menggelikan dengan
handuk pada saat saya memangkas rambut di sebuah daerah yang relatif jauh, dari
ukuran perjalanan darat yang memakan waktu tempuh empat jam perjalanan dari Ibu
kota Kalimantan Barat, Pontianak.
Kala
itu, sebagai pengisi waktu luang dari waktu presentasi di sebuah ruang besar
satu-satunya yang ada di daerah itu, saya berjalan-jalan untuk melihat
lingkungan ruko dan pasar yang berhimpitan dengan tempat saya diinapkan. Tentu
tidak banyak yang dapat saya lihat di sebuah kota kecil yang baru saja menjadi
ibu kota kabupaten baru. Apa yang saya saksikan dalam 'perjalanan' saya
di pagi itu, mengingatkan saya kepada daerah dimana Ikal, tokoh dalam film
Laskar Pelangi, saat masih kecil.
Namun
dari sesuatu yang sedikit itu ada beberapa hal yang menarik perhatian saya.
Bahkan satu hal yang benar-benar menarik tersebut adalah sebuah kios pangkas
rambut. Kios pangkas rambut itu berada dalam deretan kios-kios lain yang berada
di seputar pasar. Menarik, karena kursi dimana orang yang akan dipangkas
rambutnya adalah kursi lawas yang dapat diputar. Tampak masih kokoh dan
sekaligus unik. Juga mesin pemangkas rambutnya. Masih manual, masih model lawas
yang digerakkan oleh jemari si pemangkas rambut.
Karena
tertariknya, maka tidak salah jika pada saat itu, meski rambut saya belum
terlalu panjang, ingin mencoba kursi dan sekaligus mesin pemangkasnya! Sebuah
keinginan yang tiba-tiba muncul dan langsung gerak! Namun beberapa saat
kemudian kaget saya muncul luar biasa. Yaitu pada saat tukang pangkas rambut
itu memasangkan handuk yang sudah begitu kumal di bagian tengkuk...
Tersesat
Setelah Pangkas Rambut
Selain
dengan handuk, saya pun pernah mengalami pengalaman tak terlupakan dengan
pangkas rambut. Pengalaman kedua ini saya alami ketika masih berusia Sekolah
Dasar. Saat saya diantar Ayah saya untuk pangkas rambut di lagganan Ayah di
Kota Gajah, Punggur, yang saat itu masih masuk Kabupaten Metro, Lampung
Tengah.
Karena
langganan dan sudah kenal sangat baik, maka ketika saya ada di tempat pangkas
rambut itu, Ayah saya segera meninggalkan saya di lokasi itu untuk menengok
proyek rumah dinas yang sedang diawasinya, yang tidak jauh dari Pasar Kota
Gajah. Pada saat rambut saya selesai di pangkas, maka tukang pangkas berpesan
agar saya menunggu di kiosnya sampai Ayah saya datang menjemput. Tentu tidak
lupa si tukang pangkas yang saya panggil Lek atau Paman itu memberikan uang
koin untuk jajan.
Namun
karena begitu girangnya dengan uang koin yang diberikannya, dan tidak sabar
untuk segera membelanjakannya, maka saya berpamitan untuk menyusul Ayah di
lokasi kerja. Meski tukang pangkas memaksa saya untuk sabar menunggu, tapi saya
berhasil juga lolos dari pengawasan Paman saya yang tukang pangkas itu.
Untung
tak dapat diraih dan sial tak dapat ditolak. Saat saya pergi meninggalkan
tempat pangkas rambut itu untuk berjalan kaki ke lokasi dimana Ayah saya
berada, ternyata tida sesederhana dengan apa yang ada di pikiran saya. Karena
lokasi dimana Ayah berada itu ternyata tidak saya temukan juga, meski saya
telah menyusuri jalan tanggul yang ada di sepanjang kota kecil itu. Karena
begitu putus asanya, juga karena haus dan keringat membuat saya semakin lemas,
maka pasrah menjadi pilihan terakhir saya kala itu.
Dalam
kepasrahan itulah, lahir ide agar saya kembali menyusuri jalan dimana saya tadi
berasal. Sebuah gagasan yang memungkinkan saya bertemu dengan Ayah saya yang
telah menunggu di sebuah jembatan sungai irigasi.
Intinya...
Saya
mensyukuri saja apa yang telah menjadi bagian hidup saya. Sedang dengan handuk
yang saya bawa dari rumah untuk saya gunakan sendiri saat pangkas rambut, ya
sekedar untuk berjaga-jaga. Karena pagi itu memang pagi yang gelap. Karena awan
dan rintik hujan yang belum juga beranjak dari wilayah yang menumbuhkan saya.
Terima kasih.
Jakarta,
20 Januari 2013.
No comments:
Post a Comment