Siang itu, saya mendapat kesempatan untuk memberikan sharing dengan para calon guru dari program PGSD di sebuah lembaga pendidikan tinggi di Pasar Rebo. Kampus yang pernah saya kunjungi untuk sebuah kegiatan Himpunan Mahasiswa Jurusan dan IMM di tahun 1992-1993, yang saat itu bernama IKIP. Dan pada hari itu, dimana lokasi pertemuan berada di lantai 6, kami tidak lagi naik melalui tangga yang bertingkat-tingkat, tetapi menggunakan lift. "Berapa rupiah untuk membayar listrik di gedung ini?" Tanya saya kepada teman yang menemani saya pada hari itu. Sayang saya tidak mendapat jawaban. Tetapi saya kagum akan perkembangan yang terjadi pada almamater saya itu.
Hanya lebih kurang 60 menit waktu yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan sharing yang perlu disampaikan. Maka ada beberapa bagian yang terpaksa saya skip untuk kemudian hanya memilih halaman-halaman yang saya anggap penting untuk saya sampaikan. Halaman itu misalnya tentang 3 jenis soal Matematika tentang bangun datar yang menggunakan tingkat kesulitan dan aspek kognitif yang berbeda. Ini sekedar memberikan gambaran kepada teman-teman calo guru itu untuk mahir atau setidaknya cerdas dalam membuat pertanyaan kepada siswa yang menuntut siswa untuk lebih cerdas dan lebih bernalar.
Juga halaman yang saya sebut bingo-menyimak. Dimana teman-teman saya minta untuk menyimak dan menemukan kata-kata yang mereka dengar pada saat saya membacakan cerita tentang Ronggeng Dukuh Paruk karangan Ahmad Tohari. Kata-kata yang sebelumnya saya diktekan kepada perserta pertemuan untuk dituliskan ke dalam 16 kotak yang peserta buat secara acak.
Dengan cara seperti itu, maka tidak ada peserta yang tidak ikut serta menyimak apa yang sedang saya baca. Semua tampak tekun mengikuti kata demi kata yang saya sampaikan melalui pengeras suara. Beberapa peserta berkata bingo ketika kata-kata yang disilang yang ada di dalam kotak yang mereka punya sudah membentuk garis lurus. Baik garis horisontal, vertikal, atau diagonal. Sehingga saya katakan kepada peserta; "Cukup sampai disini cerita saya?" Dan mereka serempak menjawab; "Terus Pak..."
Maka selesai pula penggalan cerita dari novel itu selesai saya bacakan. Dan kemudian saya sampaikan kepada peserta bahwa itu adalah cara kita untuk supaya anak-anak bisa berkonsentrasi ketika saya membacakan cerita di kelas.
Namun kepada saya, teman yang mengantar saya hingga ke lokasi pertemuan itu mengungkapkan bahwa mayoritas calon guru yang sedang menuntut ilmu itu bermimpi untuk menjadi guru dengan status PNS. Sebuah cita-cita mulia, namun bagi saya, cita-cita yang mempersempit kesempatan untuk 'terbang' lebih tinggi dari sekedar sebagai guru PNS.
Ya, setidaknya itu yang menjadi paradigma saya hingga hari ini. Bukan karena kebetulan saya non-PNS, tetapi saya sampaikan pula kepada peserta yang calon guru itu bahwa, sebagai guru non-PNS juga tidak kalah bergengsinya pada hari ini. Ini karena lahirnya generasi yang menuntut pendidikan bagi putra-putrinya lebih baik lagi dari apa yang selama ini ada. Dan dari sisi inilah lahir sekolah-sekolah dengan model pembelajaran yang menjadikan siswa-siswanya adalah pusat belajar secara operasional.
Dari kacamata itu pula saya mengajak anak-nak muda itu nantinya untuk berani berpetualang dalam mengarungi profesinya dimana saja, tanpa harus dalam lingkup sebuah wadah yang berstatus PNS. Walau saya harus juga sadar bahwa kesadaran seprti itu tetap menjadi fokus bagi kita semua, termasuk pada generasi muda yang saya temui dalam kegiatan sharing tersebut.
Jakarta, 13 Januari 2013.
No comments:
Post a Comment