Ada satu anekdot yang saya lupa untuk mencatatnya disini. Dan senyampang teringat akan peristiwa itu, ada baiknya kejadian kecil itu saya catat dan saya ikat dalam catatan ini. Peristiwanya dalam bentuk anekdot percakapan antara saya dengan seorang siswa yang sudah duduk di kelas akhir, sebelum pemilihan ketua OSIS di bulan September lalu.
Percakapan itu menarik bagi saya karena pernyataan siswa saya tentang tolok ukur bagi para pengurus OSIS yang dia yakini. Dan dari sinilah saya menilai kalau siswa saya ini ternyata adalah pemikir.
Pernyataannya itu ia kemukakan ketika saya bertanya kepadanya tentang pandangannya. Ibi menarik perhatian saya mengingat hampir semua anak-anak yang sedang duduk di bangku kelas VII, semangatnya begitu berapi-api untuk ikut terlibat dalam kepengurusan OSIS di sekolah. Namun sejak awal, siswa saya yang pemikir itu ternyata memilih jalan yang berbeda dengan teman-temannya. Ia justru tidak menujukkan ketertarikannya dengan organisasi siswa itu.
Namun jangan salah mengira kalau siswa pemikir saya itu adalah siswa yang tidak berkawan dengan teman-teman yang lainnya. Justru sebaliknya, ia tergolong anak yang populer bagi seluruh siswa yang ada di sekolah kami. Karena skill futsalnya luar biasa bagus. Posturnya juga bagus. Atletis dan ceria.
Dari sisi inilah sebenarnya ia sudah memiliki modal untuk menjadi pengurus inti OSIS di tahun sebelumnya, manakala ia duduk di kelas VII. Tapi rupanya ia mengambil jalan yang berbeda.
Dari sinilah saya mulai tertarik untuk menemukan jawabannya. Dan mungkin baru saat itulah saya memiliki kesempatan yang bagus dan sekaligus tepat untuk saling berbagi rasa. Maka tidak membuang waktu saya mencoba untuk menggalinya. Bukankah juga tepat waktunya karena ketika saya bermaksud mengajaknya mengobrol adalah saat-saat dimana teman-teman yang adik kelasnya sedang menjalani proses pemilihan OSIS?
"Mengapa kamu memilih jalan berbeda dengan teman-temanmu? Hampir semua temanmu saat di kelas VII memiliki keinginan dan ambisi untuk terlibat dalam kepengurusan OSIS. Tapi kamu tidak?" Tanya saya saat itu.
"Saya tidak tertarik Pak. Karena tidak ada figur yang dapat jadi patokan setelah Kak Reza lulus. Jadi saya pilih ngak mau jadi OSIS." Jelasnya. Kak Reza yang disebutkan adalah siswa teladan kami yang tahun 2012 ini sudah duduk di kelas XII di Magelang.
"Jadi Kak Reza idola kamu? Bukankah itu dapat memberikan inspirasi buat kamu untuk menirunya?"
"Sulit Pak. Kak Reza memang luar biasa. Pintar, baik, dan disiplin. Kayaknya sulit sekali kalau harus saya tiru. Sedang semua anak yang sekarang, tidak ada yang sehebat Kak Reza. Makanya saya tidak tertarik untuk jadi bagian OSIS. Tapi saya membantu mereka kok Pak."
Dari sekelumit percakapan itu saya benar-benar menemukan pencerahan dan sekaligus kehilangan. Pencerahan dari apa yang menjadi pendirian anak didik saya yang ternyata adalah pemikir itu. Dan kehilangan akan sosok teladan dari seorang siswa kami yang sekarang menjadi ketua OSIS di almamaternya di Magelang.
Tapi saya selalu berharap agar kedua anak itu tetap pada pendiriannya untuk meraih sukses di masa depan. Semoga. Amin.
Jakarta, 31 Desember 2012.
No comments:
Post a Comment