Siang itu, datang ke ruangan kerja dua orang peserta didik saya. Siswa yang berada di depan, menyampaikan keluhannya, atau lebih tepatnya adalah laporannya, bahwa bagian kanan dari celana panjangnya basah karena disiram oleh air mineral oleh Tono. Dan dia memperlihatkan bagian celananya yang basah. Tidak kuyup memang, tetapi memang basah.
Saya memperhatikan bagian celana yang basah itu. Dengan perhatian yang sesungguh-sungguhnya. Namun perhatian saya pecah karena komentar dari Tono yang memang mengikuti kemana 'korbannya' itu berada. Termasuk pada saat si 'korban' memberikan laporan kepada saya untuk mengadukannya.
"Mengapa kamu lakukan itu Tono? Apakah yang kamu lakukan kepada temanmu itu termasuk perbuatan baik yang dapat diterima?" Tanya saya kepada Tono si 'pelaku'.
"Saya hanya iseng Pak. Tapi itu air bersih Pak. Saya siram celananya dengan air minum saya ini." Kata Tono dengan mempertunjukkan botol air meneral yang dipegangnya.
"Apakah kalau demikian maka itu tetap diperbolehkan?" Desak saya lagi dengan tatapan tetap kepada Tono.
"Ia Pak. Tidak boleh." Jawabnya.
"Lalu apakah tidak kepikiran olehmu untuk mengatakan maaf kepadanya?" Desak saya berikutnya.
"Saya sudah katakan dari tadi untuk meminta maaf kepadanya Pak. Tapi dia tidak mau memberikan maaf. Sampai dia laporin saya di Bapak." Kata Tono yang kali ini dengan nada yang berubah. Tampak dari nadanya bahwa itu menyiratkan perubahan emosi dalam diri anak itu.
Dan tak berselang lama di depan saya, Tono yang berbadan relatif besar untuk usianya yang masih duduk di kelas 5 SD itu mengulurkan tangan dengan tanpa ragu kepada si 'korbannya'. Tidak ada rasa malu atau sungkan sembari mengucapkan kata "maafin ya..."
Dari peristiwa itu saya melihat bagaimana pola persahabatan antar anak-anak itu. Begitu polos tanpa beban. Saya melihat bahwa landasan dari membasahi celana seragam temannya bukan karena iri atau dengki. Atau karena ingin mencelakai aau menertawai. Meski itu tetap saja menjadi perbuatan yang menyalahi norma. Setidaknya itulah yang terlihat dari perbuatan anak yang ada di depan saya itu.
Walau kadang saya juga harus akui, bahwa tidak semua anak didik kami di sekolah memiliki keluguan sebagaimana yang diadukan oleh teman bermainnya kepada saya pada siang itu. Tapi setidaknya, saya bersyukur bahwa yang datang pada siang itu adalah anak yang lugu dan anak yang mudah memberikan maaf kepada temannya. Saya tentu bersyukur...
Jakarta, 18 Desember 2012.
No comments:
Post a Comment