Saya bersyukur, bahwa ada teman yang menawari saya untuk membuat sekolah. Tentunya sekolah formal bukan kursus atau bimbingan belajar atau semacamnya. Namun untuk kesekian kalinya pula saya meberikan alasan bahwa saya belum siap menjalaninya. Ketidak siapan itu juga lahir kerena saya melihat teman-teman lain yang seain menjadi pendiri dari lembaga pendidikan formal tersebut juga adalah eksekutif di lembaganya masing-masing. Bagaimana teman saya bercerita tentang pengalamannya berada di lingkungan yang dia bangun bersama komunitasnya. Bukan keluhan apa yang mereka sampakan kepada saya, tetapi saya terlanjut melihatnya bahwa pengalamannya itu sungguh luar biasa bagi saya yang sejak awal hingga sekarang sebagai pengemban amanah atau pegawai di dunia pendidikan ini. Dan karena begitu luar biasanya, saya merasa tidak akan sanggup berada dalam posisi dimana mereka sekarang berada. Jadi meski itu kekurangan saya, tetapi saya bersyukur akan takaran saya.
Pagi ini misalnya, tawaran itu datang lagi kepada saya. Saya akan diberikan hak pengelolaan sepenuhnya atas lembaga yang ditawarkan, dan sekaligus sharing kepemilikan. Sedang modal dari lokasi hingga fasilitasnya, teman saya itu menyanggupi untuk membangunkannya. Tetapi, tetap dengan rasionalitas yang saya miliki, saya menolaknya. Saya mengusulkan agar lokasi yang telah tersedia itu dibangun bangunan tempat tinggal untuk kemudian ditawarkan kepada yang ingin menempati. Apakah dijual atau mungkin disewa?
Demikian pula dengan teman yang lain, yang hari ini berencana akan datang menemui saya, dikatakan bahwa ia akan membawa beberapa teman dari kepulauan yang ada di wilayah Sumatera, untuk melihat, berkunjung, dan berdiskusi tentang berbagai hal ihwal persekolahan. Teman saya ini mengajak temannya agar setelah mereka melihat tongkrongan sekolah-sekolah yang ada di Jakarta, Depok, Bogor, dan Tangerang, nantinya dapat menemukan kata sepakat tentang sekolah yang bagaimana yang akan mereka kembangkan.
Pilihan Saya
Sebagai pekerja di dunia pendidikan sejak saya lulus dari sekolah guru, lalu apa sesungguhnya yang menjadi pilihan saya pada puncak karir saya? Apakah memiliki sekolah sendiri sebagaimana beberapa kawan saya lakukan itu menjadi opsesi saya? Tampaknya, dari pergulatan batin yang saya alami dengan kesadaran sepenuhnya, saya mengatakan dengan semangat yakin bahwa, memiliki lembaga pendidikan formal, bukan menjadi pilihan saya. Pilihan saya, meski tetap dalam ranah pendidikan, adalah mengembangkan semangat pembelajaran di unsur masyarakat. Dan tentang bagaimana bentuknya? Hingga sekarang belum dapat saya rumuskan dalam bentuk deskripsi. Terlalu banyak rasa-rasa mimpi saya itu hingga saya sulit membahasakannya.
Yang pasti, apa yang menjadi mimpi saya itu adalah sebuah lembaga atau mungkin sekedar tempat untuk sebuah aktivitas belajar tetapi tidak dalam bentuk lembaga pendidikan formal. Tidak padat modal, tidak repot dengan segala hal yangberkenaan dengan administrasi dan iuran, meski nantinya tetap berkomitmen dalam menumbuhkambangkan potensi komunitas yang ada di dalamnya.
Mimpi saya ini lahir dari sebuah keinginan saya untuk tetap fokus pada mengerjakan segala sesuatu harus dengan prinsip keikhlasan. Oleh karenanya bila keberadaan saya dalam sebuah lembaga yang saya juga ada didalamnya dalam arti yang sesungguhnya atau tidak saja sekedar menjalankan amanah dari orang lain, saya menjadi ringkih dan mudah kehilangan pola kerja ikhlas. Dan untuk menghindarinya, sya memilih pilihan saya untuk tidak memiliki lembaga pendidikan formal.
Lagian, dari mana saya memiliki kompetensi kapital untuk merealisasi itu?
Jakarta, 31 Januari 2012.