Siang itu, saya bertemu dengan orangtua siswa di halaman sekolah ketika beliau menjemput putra semata wayangnya. Seperti biasa, satu hari dari lima hari kerja menjadi bagian saya untuk piket menemani siswa yang ada di halaman sekolah seusai jam sekolah dan sebelum mereka semua dijemput oleh penjemputnya masing-masing. Juga sesekali saya berada di halaman jika saya melihat di halaman perlu tambahan guru piket. Dan bertemu penjemput yag antara lain adalah ayah atau bunda ananda menjadi hal yag biasa kami lakoni.
Dan seperti juga para orangtua pada umumnya, maka pertemuan itu menjadi diskusi kami tentang anak. Diskusi dibuka oleh orangtua tersebut yang mengeluhkan tentang ketidakdisiplinnya ananda terhadap semua tugas yang ada. Juga malas-malasan. Termasuk juga malas membaca. Katanya. Saya bertanya mengapa malas membaca? Mungkinkah ia tidak merasakan nikmatnya membaca maka ia menjadi malas untuk membaca? Apakah Bapak atau Ibu mungkin pernah bercerita kepadanya tentang cerita yang Bapak atau Ibu baca dari buku untuk kemudian mengajaknya berdiskusi tentang isi buku tersebut? Belum Pak. Katanya. Pada titik ini saya menjadi maklum kalau ananda tidak suka membaca karena memang kurang ada contoh dan mungkin juga karena kurang diberikan motivasi. Dalam hati, saya akan menyampaikan ini Jumat pekan ini pada saat kegiatan professional development untuk guru selalu kami laksanakan. Tujuan saya tidak lain agar semua anak di sekolah menjadi termotivasi untuk suka membaca selain dari rumah juga adalah dari dorongan gurunya di sekolah.
Lalu diskusi kami perpindah pada topik lain.Yaitu tentang mengapa ananda hampir selalu tidak maksimal nilainya ketika ulangan di sekolah.
- Karena saya tahu Pak Agus, anak saya itu sesungguhnya pintar, tetapi dia malas sekali. Jelasnya.
- Mengapa Pak? Sela saya.
- Saya juga ngak tahu Pak. Jelasnya.
- Apakah Bapak dan Ibu pernah diskusikan ini bersama-sama ananda? Mengapa dia malas melakukan usaha untuk memperoleh sesuatu yang maksimal?
- Saya kadang berbeda dengan istri Pak. Istri saya sering memberikan sesuatu dengan mudah. Saya sudah katakan bahwa sesuatu itu kita berikan sebagai hadiah nanti ketika ia menunjukkan sesuatu yang baik kepada kita. Tetapi barang-barang itu selalu ada. Lanjut Bapak itu memberikan penjelasanya.
Percakapan kami terpaksa harus berhenti. Dan untuk itu saya harus meminta maaf untuk tidak dapat melanjutkan percakapan dan diskusi yang sedang hangat tersebut. Bapak itu mengizinkan saya meninggalkannya.
Itu karena kebetulan saya harus menemukan salah satu siswa kami yang ketika dijemput yang bersangkutan tidak ada ditempat. Namun alhamdulillah anak tersebut sedang berada di sebuah karpet yang ada di ruangan perpustakaan. Ia tengah asik membaca buka meski hanya ditemani oleh pustakawan.
Meski diskusi saya dengan orangtua tersebut harus saya akhiri, dalam pikiran saya sendiri diskusi terus berlanjut. Dan saya memiliki asumsi bahwa kalau seorang anak sudah dapat memiliki sesuatu atau sudah dapat mendapatkan sesuatu dengan mudah dan nyaris tanpa harus berusaha dengan sungguh-sungguh, maka untuk apa anak itu harus berkomitmen untuk mendapatkan sesuatu? Bukankan seorang anak akan me-reply apa yang sesungguhnya dilakukan oleh lingkungannya dan bukan apa yang dikatakan? Dan bukankah anak-anak semacam itulah sesungguhnya anak-anak yang cerdas? Anak-anak yang berpikirnya sudah pada tahapan analitis?
Dan asumsi ini nyaris menjadi kesimpulan saya pribadi...
Jakarta, 25 Januari 2012.
1 comment:
Artikelnya bagus pak... Semoga generasi bangsa ini semakin cerdas.
Post a Comment