Dalam sebuah pelatihan guru, ada bagian dimana kita diminta untuk menginterviu rekan yang duduk di sebelah kita. Salah satu pertanyaan yang harus dikemukakan adalah siapa guru favorit ketika kita menjadi siswa di bangku sekolah. Dan ketika pertanyaan itu muncul untuk saya, maka dari beberapa guru yang menjadi favorit saya adalah Pak Ponirin. Dia guru PMP di sekolah menengah pertama (SMP) saya, yang sekarang sudah tidak ada lagi. Sudah bubar karena kehabisan siswa. Habis dalam arti yang sebenar-benarnya. Kalah dengan sekolah menengah lain yang keberadaan lebih ke kota. Tidak seperti sekolah saya yang telah bubar itu. Berdomisili di desa. Mungkin.
Kalau saya katakan sebagai salah satu, karena sesungguhnya saya tidak memiliki guru di sekolah yang benar-benar menjadi idola saya. Guru idola saya justru adalah Paklek saya, adik kandung dari Bapak saya sendiri, yang kebetulan berprofesi sebagai Polisi. Ada memang guru musik yang mengajari kami banyak lagu anak-anak, tapi saya kawatir tidak jujur. Karena ke-idolaan saya terhadap guru musik saya itu, yang kebetulan adalah istri dari pejabat bank yang ada di desa saya ketika saya tinggal di Punggur, Lampung Tengah, selain karena lagu yang disampaikannya juga justru malah kepada penampilannya yang trendi. Karena si ibu guru itu selalu mengenakan wig yang mringkel-mringkel. Jadi takut tidak objektif, saya memilih Pak Ponirin sebagai salah satu yang berkesan dalam hati dan ingatan saya sebagai siswa.
Roti Kaleng Lebaran di Rumah Pak Ponirin
Guru PMP saya itu, sesungguhnya adalah guru tetap di SD negeri yang kebetulan gedungnya dipakai oleh SMP saya di siang hari. Dan dia mengajar hanya 2 jam satu pekan. PMP yang disampaikan normal-normal saja sebagaimana guru mata pelajaran lain ketika masuk kelas saya. Namun tongkrongan beliau yang membuat kami semua, khususnya saya, tidak berani berkutik selama pelajaran PMP berlangsung di kelas.
Dia guru yang fokus kepada apa yang harus disampaikannya kepada kami siswanya. Meski ketika menyampaikan pelajaran ia memasang raut muka gembira, tetapi ia jarang bergurau, dan bukan berarti tidak bisa bergurau. Bagi saya, kegembiraan beliau kalau diperbandingkan dengan orang tersenyum-tertawa-terkekeh, maka ia hanya akan berada pada tataran tersenyum. Dan karena tetap fokus meski tersenyum, maka kami tidak berani selain dalam posisi memperhatikan uraiannya tentang materi pelajaran yang sedang disampakan.
Pada suatu waktu disaat lebaran, saya dan adik sepupu yang kebetulan juga adalah kakak kelas saya dan menjadi siswanya Pak Ponirin, pergi bersilaturahim ke rumah beliau yang jaraknya lebih kurang 5 km dari tempat tinggal kami, atau jika kita melihat gambar, arahnya berada 2 atau 3 cm ke utara dari desa Dadirejo. Itu berarti kita akan naik gunung. Dan berarti lagi, untuk mencapai jarak sejauh itu, kami hanya bisa melakukan perjalanan itu dengan berjalan kaki. Karena pada saat itu, sekitar 1980an, akses jalan yang ada hanyalah jalan setapak yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Jalan itu hanya memiliki lebar sekitar satu setengah hingga dua meter, yang menyusuri lereng dan tebing yang ada di gunung tersebut. Sehingga selain jalan itu berliku juga naik turun dengan tidak beraturan. Pasti berbahaya untuk mengendarai sepeda apalagi sepeda motor.
Lalu apa yang menarik di rumah pak guru itu? Pertama adalah kacang bawangnya yang klenis. Kedua, adalah roti dalam toples kaleng yang tentunya jarang kami lihat. Apalagi kami dapatkan dari orangtua kami. Ketiga, adalah kehangatan beliau ketika mengajak kami ngobrol tentang kedaan kami dan orangtua kami. Termasuk juga adalah keikhlasan beliau untuk membungkuskan kacang bawang itu dan juga roti bikinan Holland.
Bagaimana dia berbicara pada saat itu, sungguh menjadi perhatian kami. Perhatian yang sungguh-sungguh membuat saya sendiri beropikir bahwa ternyata Pak Ponirin itu tidak seperti yang menjadi bayangan saya. Kok beda ya antara di saat mengajar dengan ketika kami berkunjung ke rumahnya saat bersilaturahim di hari raya Idul Fitri? Namun pengalaman di rumah pak guru yang berada di gunung itu, menjadikan saya berani untuk mengajaknya berdialog pada saat kembali ke sekolah setelah libur lebaran. Dan itu membangkitkan keberanian bagi saya untuk meminta kepada beliau kesempatan menjadi petugas upacara bendera. Meski sebagai pembawa teks Pancasila. Maka tidak terlalu salah bila saya mengucapkan terima kasih kepada Pak Ponirin saat ini. Terima kasih Pak.
Jakarta, 11 Januari 2012.
Jakarta, 11 Januari 2012.
No comments:
Post a Comment