Mari membaca buku anak-anakku. Ini ajakan yag selalu saya ajukan kepada anak-anak saya di rumah. Saya harus terus menerus memberikan ajakan ini agar mereka menjadi orang yang lebih dewasa, menjadi cerdas dan tidak saja menjadi pintar, dan karenanya menjadi sulit untuk menjadi keblinger. Memang diantara anak-anak saya tidak semuanya tidak mau atau tidak suka membaca. Tetapi juga belum semuanya yang amat sangat suka membaca. Untuk itulah, saya tidak akan merasa bosan memprovokasi mereka untuk suka membaca. Caranya? Saya bercerita tentang cerita buku yang telah saya baca sebombastis mungkin. Lalu saya pamerkan kepada mereka betapa banyak hal-hal yang dapat saya ambil dari cerita yang saya baca itu.
Tidak Menjadi Mudah Keblinger?
Ini salah satu kekawatiran kami sebagai orangtua. Lebih-lebih keblinger dalam faham tertentu. Karena begitu maraknya faham-faham tersebut tumbuh dikalangan muda, yang tidak saja disebarkan di tempat ibadah di sekolah atau kampus, tetapi juga kantin sekolah. Dan menurut saya, dengan banyaknya literatur yang sudah menjadi referensi anak-anak tersebut, dan dengan pertajaman yang kita, orangtua, lakukan dengan melakukan dialog serta diskusi terhadap narasi yang dipunyainya, menjadikan anak-anak itu tidak mudah terkesima atau tidak mudah kaget. Karena terkesima atau terpesona atau kaget, adalah wilayah jiwa yang dapat menjadi pintu gerbang bagi ketidak percayaan diri. Termasuk di dalamnya penyakit keblinger.
Apakah membaca buku itu pararel dengan membeli buku? Bagi saya ya. Karena dengan buku yang kita beli, maka ada keleluasaan bagi saya sendiri untuk memberikan catatan-catan langsung terhadap halaman-halaman buku yang saya miliki. Catatan-catatan tersebut nanti dikemudian hari akan menjadi perhatian saya berikutnya, manakala saya kembali membaca buku tersebut. Tentu, tekad saya membeli buku tersebut bukan bermaksud memberitahukan kepada Anda akan finasial saya. Kaena saya orang yang lebih suka buku dari pada pergi ke warung kopi yang ada di mal, yang secangkirnya berharga satu buku lumayan tebal. Mungkin seharga dua buku yang saya beli di kios buku yang ada di sebelah Gedung Budaya di Yogyakarta. Yang selain saya mendapat potongan harga, buku saya juga sudah disampul plastik dengan rapi.
Tetapi kita juga bisa mengatakan tidak ada korelasi yang sejajar bahwa membaca samadengan membeli buku. Ini karena banyaknya perpustakaan-perpustakaan sekolah yang memiliki buku-buku baik yang sayangnya hanya memiliki pembaca yang tidak terlalu banyak. Artinya, kemungkinan untuk memperoleh buku yang ingin dipinjamnya relatif besar. Atau juga meminjam buku teman setelah teman selesai membacanya. Tentu dengan komitmen penuh untuk membacanya dan mengembalikannya.
Satu hal yang juga penting saya sampaikan disini adalah pengalaman saya mengetahui sejarah dari buku-buku fiksi. Terlepas apakah dalam novel tersebut fakta sejarah yang disampaikan merupakan fakta kebenaran, maka saya melihatnya sebagai pembanding bagi fakta sejarah yang terdapat dalam buku sejarah. Sekali lagi, inilah yang memungkinkan saya untuk menjadi tidak mudah terkesima bila ada yang berbusa-busa mengatakan sebuah kebenaran, untuk kemudian meminta kita segera mengikuti apa yang dibusa-busakan?
Dan fakta-fakta ini pulalah yang pernah menjadi bahan diskusi antara saya dan anak tentang kisah tahun revolusi kita dengan berbekal pada fakta sejarah yang terdapat dalam novel Ronggong Dukuh Paruknya Ahmat Tohari dan Para Priyayinya Umar Kayam. Karena alur cerita dari novel tersebut dapat jauh lebih kontekstual dalam menjelaskan sebuah konflik keyakinan. Ini menjadi penting, karena anak-anak saya berada jauh di belakang dari waktu terjadinya peristiwa itu.
Juga dengan banyak hal yang menjadi jauh lebih dahsyat dalam membuat kita menjadi keblinger di waktu sekarang ini. Untuk itulah mari kita membaca...
Jakarta, 4 Januari 2012.
No comments:
Post a Comment