Dalam beberapa hari ini saya memperoleh beberapa informasi yang dapat menjadi pengalaman, dan oleh karenanya sekaligus memperoleh pelajaran dari informasi itu tentunya, dan untuk itulah saya bermaksud untuk mengabadikannya dalam artikel ini. Sesungguhnya informasi tentang pengalaman itu juga pernah menjadi pengalaman langsung saya sendiri beberapa waktu lalu. Namun karena berbeda memilih jalan keluarnya, maka berbeda pula ruangan yang dimasukinya. untuk itulah baik saya memulai artikel saya ini dengan pertanyaan kepada semua Anda pembaca (ini pun kalau ada pembaca yang mampir dalam blog saya ini).
Mana 'Pintu' dan 'Jalan' yang Kita Pilih?
Jika ada pertanyaan dari seorang teman yang berbunyi: Apa yang akan Anda lakukan jika Anda 'membenci' beberapa hal yang ada di lembaga dimana Anda menjadi bagian di dalamnya? Apa yang saya maksud dengan beberapa bagian itu? Dari pengalaman saya beberapa bagian yang pernah saya sendiri tidak sependapat antara lain adalah; cara atau strategi pengambilan keputusan? Ketidaksempurnaan sistem yang ada di lembaga di tempat kerja? Sistem kenaikan gaji? Pengangkatan pejabat yang dirasakan tidak adil? Lingkungan yang tidak menantang lagi untuk pertumbuhan kita? Lembaga yang sudah terasa sulit ikut bersaing dengan lembaga sejenis? Dan sekian puluh kekurangan lain lagi yang tidak mungkin saya catat disini. Namun setidaknya Anda telah memiliki gambaran akan ketidakpuasan yag saya maksudkan.
Lalu 'pintu' dan 'jalan' mana yang akan Anda pilih untuk menjadi jalan keluar dan sekaligus sebagai jawaban dari pertanyaan saya diatas?
Teman kantor lama saya, sebagai kisah pertama, dalam sebuah kesempatan pernah menyampaikan kepada saya bahwa dalam situasi seperti itu ia akan berdoa kepada Tuhan dan memohon kepada Nya untuk memilihkan pintu yang paling baik sebagai jalan keluar baginya. Sikap yang menjadi pilihannya itu terbukti manjur. Setidaknya itulah yang pernah dua kali ia lakukan. Ketika ketidakcocokan benar-benar memuncak, tuturnya, ia mengadukannya kepada Tuhan, dan jalan itu terbuka melalui temannya yang menghubunginya untuk memasukkan lamaran di sebuah tempat, kebetulan lembaga sekolah, hingga ia jalani tidak kurang 10 tahun lamanya ia menjadi bagian di lembaga itu.
Teman kantor lama saya, sebagai kisah pertama, dalam sebuah kesempatan pernah menyampaikan kepada saya bahwa dalam situasi seperti itu ia akan berdoa kepada Tuhan dan memohon kepada Nya untuk memilihkan pintu yang paling baik sebagai jalan keluar baginya. Sikap yang menjadi pilihannya itu terbukti manjur. Setidaknya itulah yang pernah dua kali ia lakukan. Ketika ketidakcocokan benar-benar memuncak, tuturnya, ia mengadukannya kepada Tuhan, dan jalan itu terbuka melalui temannya yang menghubunginya untuk memasukkan lamaran di sebuah tempat, kebetulan lembaga sekolah, hingga ia jalani tidak kurang 10 tahun lamanya ia menjadi bagian di lembaga itu.
Kisah teman saya yang lain, sebagai kisah kedua, menempuh jalan yang mirip-mirip. Ketidakcocokan yang dia rasakan di kantor, ia rasakan sendiri sepanjang masih dirasakan kuat. Tidak kepada siapapun diceritakan meski kepada pasangan hidupnya. Ia buat catatan di buku agenda apa yang menjadi kegundahannya itu. Hingga pada suatu saat dimana ia sudah benar-benar tidak tertahankan lagi. Mungkin karena doa pasangan hidupnya juga hingga Allah SWT mengirimkan jalan keluar melalui teman lama. Dan setelah benar-benar pintu terbuka dan jalan keluar terlihat matap, ia menuliskan surat pengunduran diri.
Teman lama saya yang lain juga menempuh jalan yang mirip. Ini sebagai kisah ketiga, dimana ia terpaksa hunting koran akhir pekan yang banyak memuat lowongan kerja ketika situasi yang mirip seperti itu. Hingga pada akhirnya setelah semuanya jelas, ia mengajukan surat pengunduran diri.
Dan kembali kepada pertanyaan saya di atas: Apa yang akan Anda lakukan jika Anda 'membenci' beberapa hal yang ada di lembaga yang Anda menjadi bagian di dalamnya?, saya yakin semua Anda memiliki jawaban sebagai jalan keluar yang akan menjadi pilihan terbaik Anda. Namun jangan pernah Anda meniru teman saya yang lain lagi, sebagai kisah keempat, dimana teman saya ini akan melakukan 'diskusi hitam' kepada teman kerja sekantornya dengan topik kejelekan apa saja yang terjadi di kantornya. Dan ketika saya bertanya kepadanya mengapa tidak memilih jalan yang dilalui oleh tiga kisah teman saya diatas, dia justru mengelompokkan saya sebagai bagian dari lembaga dimana ia berada, yang dinilainya tidak bersistem itu. Saya tentu diam saja. Saya hanya berpikir; Mengapa orang itu tetap berada dalam lembaga yang dianggapnya telah 'menistakannya' bahkan betah hingga 20 tahun berada di dalamnya? Apakah 'diskusi hitam' menjadi 'pintu' dan 'jalan' yang menjadi pilihannya sebagai jalan keluar?
Dan dari kisah keempat itu saya juga kembali bertanya: Apa bahagianya hidup seperti itu? Dari sisi mana orang seperti itu bisa bertahan hidup sehat?
Jakarta, 29 Januari 2012.
No comments:
Post a Comment