Kemarin, anak saya secara tidak sadar sedang mengajarkan kepada saya untuk belajar empati. Timbang rasa. Kepada temannya yang pada bulan depan akan ada kegiatan di sekolahnya yang mengharuskan mereka semua terlibat, namun juga membutuhkan biaya. Dan karena itulah maka temannya harus tidak dapat ikut serta. Itu menjadi pilihannya karena sejak orangtuanya terserang penyakit yang menjadikannya tidak mampu bekerja, hingga tidak ada pilihan lainnya. Oleh karenanya ia mengingatkan saya untuk memberikan bantuan kepada temannya itu, dan juga temannya yang lain karena memang ada beberapa temannya yang bernasib sama, dengan memberikan donasi untuk kegiatan yang segera akan berlangsung di Februari nanti. Temannya itu, dan masih ada beberapa teman lainnya di kelas 11 SMAnya itu, harus belajar menjadi prihatin ditengah sebuah perjalanan menggapai masa depannya.
Berempati pada Lingkungan
Lalu apa sesungguhnya pelajaran yang saya dapat dari anak saya selain tentang empati kepada sesama dalam bentuk memberikan donasi? Menurut saya sendiri adalah cara pandang. Karena betapa benar-benar berlimpah celah bagi kita untuk terus mengasah rasa empati itu. Tidak karena hanya secara kebetulan anak-anak memberikan kesempatan seperti itu, tetapi juga berbagai wahana, yang berupa makhluk, yang bermakna juga selain manusia adalah juga semua hal selain Khalik, yang dapat kita jadikan sebagai lahan untuk mengasahnya. Dan salah satu hal itu adalah kebersihan kepada lingkungan. Sehingga, adakah dalam diri kita lahir sebuah tekad dan keberanian serta kamauan untuk menumbuhkan empati kepada lingkungan sekitar kita?
Sebagai contoh barangkali saya kemukakan disini tentang sebuah kegiatan penerimaan peserta didik baru di sebuah sekolah tingkat sekolah dasar. Dimana pada saat anandanya sedang masuk ruangan kelas untuk menjalani interviu, maka para orangtua duduk menunggu di ruang tunggu yang tersedia. Dan pada saat kegiatan itu berakhir, banyak tertinggal botol minum dan kardus makanan kecil yang sudah tidak ada lagi isinya. Alias sudah kosong. Alias sudah menjadi sampah. Dan tampak sekali bahwa itulah sikap kita terhadap sesuatu yang telah tidak kita butuhkan lagi. Kita tidak pedulikan atau bahkan tidak berempati lagi.
Dan mohon kita sekali lagi berpikir bahwa, kelakuan seperti itu dilakukan bukan oleh anak-anak sekolah yang diekspektasi untuk mampu dan mau menjaga kebersihan. Bahkan mereka didorong dengan dorngan serta motivasi bahwa kebersihan adalah merupakan bagian dari keimanan. Yang berarti jika kita berkontribusi dalam penjagaan leingkungan yang bersih maka bermakna bahwa ada keimanan menempel dalam diri kita? Itu adalah kelakuan para calon orangtua siswa. Yang berarti bahwa generasi merekalah yang seharusnya pertama kali mendapat dorongan bahwa kebersihan adalah merupakan bagian dari keimanan. Yang berarti juga bahwa yang mestinya menjadi siswa dengan ekspektasi penjagaan kebersihan lingkungan adalah generasi para calon orangtuanya dan bukan anandanya?
Kenyataan itu membuat saya pribadi melakukan koreksi ke dalam. Apakah masih ada unsur ketidakharmonisan antara angan-angan yang berujud ekpsektasi dalam pikiran saya terhadap anak-anak saya sendiri dengan polah tingkah saya. Maka hanya kepada Allah saja saya memohon ampunan atas ketidakan itu. Dan berharap kiranya Ia memberikan selalu kesadaran untuk terus berlaku baik, juga kesehatan, dan keberkahan hidup. Amin.
No comments:
Post a Comment