Ketika teman saya bercerita tentang waktu yang dia akan bersama dengan guru pada saat kegiatan sedang direncanakan, maka dia menyampaikan bahwa ketika panitia sudah membuat kegiatan dalam bentuk proposal. Karena biasanya sekolah telah menunjuk penanggung jawab kegiatan. Dan pada rapat kali pertama, penanggung jawab kegiatan akan membuat susunan panitia yang lebih lengkap sekaligus membuat draft kegiatan yang akan dilaksanakan.
"Jadi kapan Ibu akan hadir dalam rapat kepanitiaan tersebut?" Begitu pertanyaan saya kira-kira kepadanya. Saya ingin tahu sekali bagaimana ia membawa sebuah kegiatan yang lebih bermakna dan tentunya lebih berhasil dibandingkan dengan kegiatan serupa di tahun sebelumnya. Karena bukankah dalam setiap kegiatan selalu diadakan monitoring dan evaluasinya?
"Biasanya pada saat panitia sudah melakukan rapat yang ketiga Pak Agus." Begitu jawabannya. Ia nampak begitu datar menjawab pertanyaan saya. Padahal saya ingat betul bahwa beberapa orang dari guru-gurunya yang ia tunjuk sebagai penanggung jawab kegiatan sekolah, bersikap otoriter dalam kepanitiaan. Otoriter yang dimaksudnya adalah ketidak mauan si penanggung jawab tersebut menerima masukan dari anggota panitia lainnya yang telah terbentuk di rapat panitia kali pertama.
Lalu kalau jawabannya seperti itu, apakah itu jawaban yang memberikan solusi atas apa yang dia pernah kemukakan kepada saya beberapa waktu sebelumnya? Bukankan kalau ia sebagai pemberi amanah penanggung jawab kepada seseorang, yang juga adalah sebagai Kepala Sekolah dapat memberikan masukan ketika panitia mulai dibentuk?
"Saya tidak ingin dilihat melakukan intervensi Pak. Jadi saya ingin supaya guru-guru dapat berpikir, membuat rencana kegiatan dengan bebas dan semoga juga dengan kreatif." Begitu argumentasi teman saya yang Kepala Sekolah itu. Jawaban yang justru membuat saya bingung. Bukankah sebagai pemegang amanah tertinggi ia dapat memandu semua komponen yang ada di unit kerja untuk bersinergi?
Apakah ia benar-benar sadar kalau guru yang diberinya tanggung jawab atas kegiatan sekolah tidak mengindahkan masukan positif dan bahkan rekomendasi atas hasil monev atas kegiatan tahun sebelumnya, tetap dibiarkan melakukan kegiatan sekolah dengan format yang sama dengan tahun lalu? Yang berbeda hanya tanggal kegiatan, lokasi kegiatan, dan juga personil serta biaya kegiatan? Lalu apakah itu bukan yang disebut sebagai penganut 'kenapa susah-susah?'
Sebuah aliran di sekolah yang banyak dianut oleh mereka yang sudah tidak lagi ingin mengerjakan kegiatan yang neko-neko. Mengapa harus membuat kegiatan yang berbeda dengan kegiatan yang ada sebelumnya. Bukankah kegiatan serupa selalu dilakukan di tahun-tahun sebelumnya?
Pada titik inilah sebenarnya fungsi kepala Sekolah sebagai pemandu itu penting. Kalau para penganut konsep bekerja 'kenapa susah-susah' itu tetap memaksakan format kegiatan dalam membuat proposal kegiatan tidak mau menerima masukan, biasanya dari juniornya, maka kita sebagai Kepala Sekolah bisa mengajukan beberapa pertanyaan yang memancing si juniornya kembali memiliki semangat.
Bagaimana Bapak dan panitia mengatur 150 anak dalam kegiatan klasikal ceramah? Apakah Bapak sudah membuat parameter agar anak-anak benar-benar mendengarkan ceramah selama kegiatan itu berlangsung? Bagaimana jika 150 anak itu kita bagi menjadi 5 kelompok untuk kemudian kita buat kelas pararel dengan model station? Bagaimana Bapak dan panitia bisa yakin bahwa anak-anak akan mendapatkan manfaat yang besar ketika mereka mengikuti program ini? Dan seterusnya.
Pertanyaan kita itu tujuannya hanya satu, untuk mengajak teman-teman panitia berpikir operasional ketika sedang membuat rencana. Dengan begitu, mereka akan melihat rencana kegiatan yang dibuat dari kaca mata anak. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang menantang bagi penitia. Semoga.
Jakarta, 12 Mei 2015.