Kalau kita melihat halaman-halaman sosial, maka kita kadang menemukan catatan-catatan singkat para penggunanya, yang tidak jarang mengungkapkan kegalauan. Malah, tidak hanya galau saja yang terungkap dari perasaan dan pikiran para penggunanya. Kadanga juga keta temukan hal-hal yang positif, tetapi juga tentang situasi yang ingin dikabarkannya kepada kita, khalayak, sesuatu yang sesungguhnya tidak sepatutnya. Tapi itulah perjalanan. Ada yang menuliskannya secara vulgar. Meski begitu, tidak semua yang ada di halaman-halaman sosial itu menjadi sampah. Setidaknya kalau kita mau menjadikannya sumber inspirasi menuju hidup yang lebih baik.
Dalam catatan saya berikut ini tidak akan menjadikannya sebagai bahan refleksi bagi saya sendiri, tetapi lebih sebagai bagian dari tumbuhnya sebuah pertanyaan dalam diri saya; Mengapa orang galau untuk berubah? Dan atas pertanyaan itulah saya justru bertanya dalam benak saya sendiri. Apakah saya telah dan akan selalu berubah? Tentu berubah sesuai dengan apa yang menjadi trend zaman yang terus berlari. Tetapi bagaimana orang-orang melihat dan sekaligus menanggapi ajakan untuk berubah? Mungkin ada diantara teman-teman itu yang melihat berubah sebagai paksaan?
Sadar sebagai Bagian dari sebuah Konstelasi
Babarapa tahun lalau, di awal tahun 90an, seorang teman kami harus berpindah institusi kerja pada saat ia telah memiliki status sebagai pegawai tetap. Kepadanya, saya mengajukan pertanyaan;
"Apa yang membuat Anda mempunyai keputusan seperti itu?"
"Ingin belajar berubah."
"Maksudnya?"
"Saya sudah melakukan hal yang sama bersama Anda selama belasan tahun. Jadi, lusa saya ingin melihat dan mengalami, serta melakukan yang berbeda. Tentu dari orang yang berbeda pula."
"Mengapa tidak lakukan sesuatu yang berbeda di sini bersama kami?"
"Mungkin bisa. Tetapi kalau tetap disini, saya tidak melihat dimana berbedanya?"
Beberapa tahun kemudian saya benar-benar melihat teman saya berbeda. Berbeda cara melihat pada sebuah fakta yang sama. Juga berbeda dalam menyikapinya. Darinya, saya tentau belajar tentang rasa berbeda yang menjadi trend saat itu. Dan karena saya guru, maka berbeda yang saya maksudkan adalah berbeda dalam melihat, merencanakan, melakukan, dan menilai interaksi antara guru dengan siswanya.
Dengan demikian, sya melihat sisi berbeda itu dari apa yang saya dapatkan dari teman itu. Tentu karena ketidak puasan saya, maka saya pun minta diajaknya megikuti apa yang dilakukannya selama teman saya itu mengemban tugasnya dalam satu siklus lengkapnya.
Dan dari situ jugalah saya dapat merumuskan bahwa, sebagai bagian dari konstelasi sosial, maka keberadaan saya, posisi saya, tentu satu linier dengan apa yang terjadi di luar, yang tumbuh dan menjadi patikan dalam sebuah konstelasi itu. Darinya, saya menyadari kalau selama ini saya hanya berjalan dalam mengarungi, dan sekaligus menjalani kualifikasi profesionalisme saya sebagai guru, dan sementara teman-teman yang lain melakukannya dengan berlari.
Maka ketika ada teman yang galau dan bertanya kepada saya; Kemana berubah? Saya menjawab; Mari kita mencari tahu kemana arah yang diinginkan oleh komunitas dimana kita berada di dalamnya!
Jakarta, 13 Mei 2013.
No comments:
Post a Comment