Siapa yang tahu kalau posisi saya sekarang ini berada di zona aman, zona nyaman, zona tantangan, atau justru di zona stagnan? Berharap saya senidiri sadar? Mungkin bisa kalau saya cukup sensitif dalam melakukan asesmen diri. Tapi apakah nanti tanpa kesadaran saya senidiri akan melakukan pembelaan diri yang akhirnya asesmen diri itu menjadi tidak obyektif yang pada akhirnya akan menelurkan hasil akhir penilaiannya yang kurang signifikan agar saya dapat mengambil langkah pengembangan diri atau perbaikan diri pada tahapan berikutnya?
Terus terang, catatan saya ini benar-benar terinspirasi oleh sebuah pertanyaan teman yang datang pada saya. Pertanyaan yang hingga sekarang begitu mengiang. Seperti ia tak akan lekang meski waktu pertemuan dengan teman itu relatif lama untuk ukuran sebuah percakapan. Namun kok sulit hilang dari ingatan? Saya menduga, karena pertanyaan itu benar-benar menohok pada dasar sanubari saya dalam sebuah proses tumbuhnya sebuah komitmen terhadap sebuah pembaharuan.
Apa pertanyaan teman itu? Sederhana sekali. "Apakah pendapatan pegawai disini mensejahterakan Pak?". Sederhana bukan? Hanya perlu satu kata untuk sebuah pertanyaan seperti itu. Simpel sekali. Tapi jika dikejar dengan data dan fakta? Nah, ini baru panjang. Karena memang perlu analisa. Dan analisa itu bisa saja begitu subyektif. Tergantung dari siapa dan dalam posisi apa jawaban itu disampaikan.
Dan supaya netral, saya mencoba meminta data-data yang saya pikir akan dapat memberikan hujah yang tidak tergoyahkan. Apa itu? Masa kerja. Selain juga latar belakang pengalaman kerja sebelum teman-teman itu menjadi pegawai dan juga latar belkang pendidikan yang teman-teman itu miliki.
"Begini Mas," Jawab saya setelah menilik pada data yang saya miliki tersebut, "Saya sungguh tidak siap dengan pertanyaan seperti itu. Maklum, terus terang saja bahwa saya tidak pernah membuat analisanya. Namun kalau boleh saya coba sampaikan disini, bahwa pemahaman saya dengan sejahtera itu tidak dapat menjadi pegangan. Namun saya melihat bahwa kami selalu memberikan penghargaan kepada para pegawai itu setiap tahunnya. Ada penghargaan 15 tahun bekerja, 20 tahun mengabdi, 25 tahun berbakti, dan bahkan ada yang sejak keluar sekolah hingga pensiun ada yang bersama kami. Kalau boleh saya menyimpulkan, apakah itu dapat dikatan sebagai bagian dari indikator sejahtera? Bukankah mereka betah? Bukankah betah itu sebagai indikatornya? Bukankah menjadi hak dan kemerdekaan kalau mereka itu merasa dizalimi lembaga di tahun kelima atau mungkin malah kedua mereka bisa hengkang dari lembaga atau bahkan menyeret lembaga ke Depnakertrans?"
Zona Stagnan?
Lalu apa hubungan antara sejahtera dengan stagnan dari dua fakta tersebut? Saya mencoba melihatnya sebagai berikut. Boleh jadi, ketia sebuah konstelasi kerja yang begitu-begitu terus menjadi bagian dari hidup kerja kita, sangat boleh jadi norma yang tumbuh dalam konstelasi kerja itulah yang akan kita serap. Repotnya, jika konstelasi itu menumbuhkan etos yang masuk dalam ranah pekerja camper, maka benchmark yang akan tumbuh pada diri kita yang etos cukup itu. Dan ketika itu yang tumbuh dalam diri kita, saya menduga perilaku rutin dan stagnanlah yang akan mendominasi kita. Dan lebih kondusif lagi bila asesmen diri dalam bingkai orang luar tidak pernah menjadi bagian dari pengembangan selanjutnya. maka kita benar-benar telah terjebak.
Camper, adalah istilah yang diberikan Paul G.S. dalam memilah jenis kecerdasan manusia berbasis tantangan. Disampaikan bahwa dalam menghadapi tantangan, hanya ada 3 jenis manusia. Pertama adalah manusia dengan tipe Quiter, yang selalu menghindar, Camper yang mudah cepat puas diri, dan yang paling bagus adalah model climber, yang selalu menjadikan tantang sebagi peluang tiada batas.
Lalu, apakah saya terjebak? Saya berharap tidak. Semoga.
Jakarta, 4 Mei 2013.
No comments:
Post a Comment