Mungkin peribahasa ini, buah tidak jatuh jatuh dari pohonnya, sangat pas untuk situasi dan kondisi kepada anak yang dari lisannya terucap: Saya kan kalah kaya kalau dibandingkan dia Bu!
Sebuah kalamat yang terucap dengan sangat sadar saat anak itu harus mempertanggung-jawabkan akan ulahnya yang tidak terlalu benar kepada teman satu kelasnya, yang baru saja akan diselesaikan oleh guru. Yaitu pada saat anak itu berlaku usil dengan satu temannya yang kebetulan memang istimewa dalam soal bekal makan di sekolah yang selalu dikirim dari rumah.
Nah pada siang itu, sebagaimana siang-siang yang lain, anak itu kembali membuat keusilan dengan mengembalikan bungkus permen yang diambilnya tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada yang empunya. Namun rupanya bungkus itu telah kosong tanpa isi. Permen yang ada di dalamnya telah masuk dalam kuluman mulutnya. Peristiwa itu secara tidak sengaja terlihat dengan jelas di penglihatan guru. Oleh karenanya dengan langsung guru menangkap perilaku itu dan segera memberikan pembetulan. Si pelaku berkeras dan mengelak. Dia tidak menyadari atau lebih tepatnya tidak mau mengakui bahwa itu perilaku yang tidak patut. Maka diputuskan oleh guru untuk menjadikan temuan itu sebagai bahan follow up bagi pertemuan dengan orangtua si anak. Mengingat temuan semacam itu bukan untuk kali kedua atau ketiga, tetapi sudah menjadi perilaku.
Tetapi diluar dugaan guru, keluar kalimat sebagaimana saya kutipkan diatas, yang sungguh mencengangkannya. Dimana si anak meminta agar tidak menjadikan temuan tersebut sebagai hal yang serius untuk menjadi bahan diskusi dengan orangtuanya. Dan untuk memastikannya, anak itu dengan sungguh-sungguh menyampaikan janjinya untuk benar-benar memperhatikan apa yang selama ini dia lakukan kepada temannya tersebut.
Kalah Kaya
Ungkapan kalah kaya anak itu sebagai argumen untuk berbuat baik dan tidak mengulangi apa yang dilakukannya kepada temannya itulah yang mengagetnya. Betapa tidak? Anak rupanya sungguh-sungguh telah menjadikan hal-hal absurd dan nisbi yang menempel pada identitas orangtuanya sebagai simbol penguat baginya dalam berperilaku dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dan karena ini merupakan sesuatu yang sensitif dalam bersosial, maka guru itu menjadi tercenung. Betapa generasi yang ada di hadapannya adalah generasi yang sebagian diantaranya sangat bergantung kepada apa yang ada di rumah sebagai harta kepunyaan orangtua dan keluarganya. Sekali lagi, kenyataan ini telah membuatnya tercenung dan sekaligus kecewa.
Ia, sebagai guru di sekolah, kembali berpikir akan apa yang pernah diungkapkannya kepada istrinya di rumah menjelang malam saat anak-anaknya sendiri telah tidur. Bahwa, yang seharusnya masuk kelas dan belajar perilaku adalah para orangtua anak didiknya selain anak didiknya itu sendiri. Dan ungkapan itu kembali terputar di kepalanya.
Ia lalu melihat fenomena yang lebih luas, misalnya di jalanan. Dimana terdapat kendaraan yang pada dasboardnya diletakkan atribut-atribut kebanggaannya. Atau juga menempelkannya di plat nomor kendaraan, atau bahkan ada juga orangtua yang saat menelponnya sebagai guru dengan menyebutkan jabatan atau penjelasan lain tentang siapa dia sesungguhnya. Maka ketika ada peserta didiknya yang harus menyatakan bersalah dengan mengatakan; Saya kalah kaya kalau dibandingkan dia, adalah korelatif dengan apa yang dilihat dan dialaminya. Itulah maka kalimat anak itu juga adalah pemaknaan dari peribahasa; Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.
Dan sebagai guru, ia tentu mengambil banyak pelajaran dari apa yang dialaminya itu. Tentunya untuk anak-anaknya sendiri di rumah. Tentu pelajaran hidup untuk tumbuh menjadi lebih baik. Semoga keberkahan Allah yang selalu terlimpah untuknya bersama keluarga. Amin.
Jakarta, 03 Maret 2012.
No comments:
Post a Comment