Orang-orang tanpa pamrih itu berpikirnya jangka panjang dan transendental. Bukan hanya sekarang, esok atau mungkin lusa. Itulah kesimpulan saya setelah saya dapatkan cerita teman satu kamar di kunjungan kami ke Tidung. Sebuah pengalaman batin langka yang alhamdulillah, saya temukan dan kemudian saya ikat dalam artikel ini. Sebuah pengalaman berharga bagi saya sendiri dan mungkin juga anda, yang hidup dan berinteraklsi dengan sebuah lingkungan sosial yang telah beranjak dari masyarakat sosial emosional kepada masyarakat yang cenderung prakmantis, materialistik, dan sekaligus individualis.
Itulah mutiara hidup dari seorang ibu yang menyediakan kamar mandinya dengan air yang masih melimpah kepada seorang pengunjung dadakannya untuk mandi setelah bermain dengan pasir di laut yang menyenangkan hati bagi keluarganya. Sebuah pengalaman bagi teman saya, yang didapatnya justru ketika didapati air mandi di penginapannya telah habis terkuras oleh temn yang lainnya, dan bersamaan dengan masin air yang tidak dapat difungsikan kembali. Mungkin mirip dengan sebuah kisah seperti hikmah dibalik sebuah musibah.
Musibahnya adalah kehabisan air bersih untuk mandi di penginapannya sehingga harus meminta air dan mandi di luar penginapan yang pasti tidak membuatnya nyaman. Tetapi hikmahnya adalah pertemuan dengan seorang Ibu yang berpikir jauh sekali ke depan, yang mempersilahkannya untuk mandi di kamar mandinya. Dan perkenalan itu menjadi lebih intens manakala Ibu itu menolak untuk diberikan uang sebagai imbalan terhadap apa yang telah Ibu itu berikan kepada teman saya.
Cara Pandang Transenden dan Jauh ke Depan
Bukan itu saja yang membuat teman saya terkaget pada saat akan menyerahlan uang imbalan tersebut. Tetapi justru kepada apa yang kemudian Ibu itu sampaikan kepadanya. Dikatakannya bahwa ia ikhlas untuk memberikan air yang menjadi kebutuhan temn saya itu, Karena ia berpikir bahwa anaknya yang tinggal di darat, Pulau Jawa maksudnya, juga akan butuh bantuan dari orang lain. Juga bahwa ia akan berangkat Haji tahun depan, yang dengannya ia berharap kemudahan Allah akan terlimpahkan kepadanya.
Itulah cara pandang dan cara melihat transenden dan sekaligus jauh ke depan. Karena itu, itulah yang menurut saya sebagai model dari cara berpikir positif. Jauh ke depan, karena Ibu itu tidak mau menerima uang upah atas air yang telah dipakai oleh teman. Karena ia berpikir bahwa upah yang kalau ia terima, itu berarti masa kini. Karena dengan begitu maka transaksi telah terjadi dengan skor satu - satu. Impas. Dan Ibu itu dengan kecerdasan spiritualnya memilih untuk menerima imbalan yang transenden dan jauh di depan.
Jakarta, 24 Maret 2012.
No comments:
Post a Comment