Ada yang ditinggalkan, dalam bentuk cindera mata yang merupakan kemubasiran, atas kehadirannya di tempat-tempat wisata yang sadar atau tidak, menurut saya adalah manifestasi individualisme. Dan semua individualisme bermuara kepada sisa-sisa ego yang meski tidak mudah lenyap namun tetap menjadi sampah. Sampah yang dalam jangka pendek akan menambah beban hidup kepada mereka yang terbebani. Seperti para petugas kebersihan yang akan mendapat upah tidak akan mencapai apa yang diperoleh oleh mereka yang bergolongan pegawai III di lingkungan pemerintah hingga kiamat kelak. Tetapi bebannya tidak akan pernah menjadi lebih ringan.
Dan manakala itu terlanjur menjadi budaya hidup, maka cost yang harus dikeluarkan untuk sebuah budaya rendah tersebut akan terus meningkat setiap waktunya. Namun sampai sekarang ini pun masih sedikit pemahaman itu untuk kemudian bermigrasi dari budaya rendahan menjadi budaya hidup tinggian. Yang ada dalam asumsi saya hanyalah gaya hidup. Gaya hidup bersih dan wangi, yang seakan-akan bagus sejak dari hulu hingga hilirnya. Padahal tidak. Karena gaya hidup itu baru sekedar pencitraan diri. Oleh karenanya belum mencapai budaya atau kultur yang memang sejak hulu dan hilir itulah adanya. Sebagaimana laporan utama dalam harian Kompas, hari Minggu tanggal 25 Maret 2012; Wangi di Depan, Jorok di Belakang. Itulah realitas gaya hidup dan belum menjadi sebuah budaya bercitarasa naik.
Sampah yang dalam jangka panjang, seperti grafiti pada batu di goa dan monumen, atau juga plastik dan kaleng, juga akan menjadi catatan buruk yang tidak mudah dilenyapkan oleh mereka yang mempunyai ingatan. Keburukan yang akan menjadi pengikat atas keburukan perilaku kita kepada alam yang telah memberikan kehidupan kepada kita.
Jangan Berhenti pada Gaya Hidup
Atas itu semua, saya berazam pada diri sendiri untuk terus memegang pandangan agar bagus dan baik tidak berhenti sebagai gaya hidup dan pencitraan semata. Tetapi harus berlanjut untuk menjadi budaya hidup. Gaya hidup adalah bentuk seolah-olah. Sedang budaya hidup merupakan hakekat. Karena budaya akan menutut kepada holitisitas. Keparipurnaan. Sedang gaya, adalah bentuk parsialitas dari budaya. Setidaknya inilah pandangan saya.
Dan khusus pada alam yang telah memberikan kepada kita pemenuhan kebutuhan jiwa dan raga, maka jadikanlah budaya baik kepadanya. Jangan pernah meninggalkan jejak buruk atasnya sebagai bentuk rasa terimakasih kita. Karena itu adalah bentuk pengingkaran dan bukan pengakuan terimakasih.
Jakarta, 25 Maret 2012.
Dan manakala itu terlanjur menjadi budaya hidup, maka cost yang harus dikeluarkan untuk sebuah budaya rendah tersebut akan terus meningkat setiap waktunya. Namun sampai sekarang ini pun masih sedikit pemahaman itu untuk kemudian bermigrasi dari budaya rendahan menjadi budaya hidup tinggian. Yang ada dalam asumsi saya hanyalah gaya hidup. Gaya hidup bersih dan wangi, yang seakan-akan bagus sejak dari hulu hingga hilirnya. Padahal tidak. Karena gaya hidup itu baru sekedar pencitraan diri. Oleh karenanya belum mencapai budaya atau kultur yang memang sejak hulu dan hilir itulah adanya. Sebagaimana laporan utama dalam harian Kompas, hari Minggu tanggal 25 Maret 2012; Wangi di Depan, Jorok di Belakang. Itulah realitas gaya hidup dan belum menjadi sebuah budaya bercitarasa naik.
Sampah yang dalam jangka panjang, seperti grafiti pada batu di goa dan monumen, atau juga plastik dan kaleng, juga akan menjadi catatan buruk yang tidak mudah dilenyapkan oleh mereka yang mempunyai ingatan. Keburukan yang akan menjadi pengikat atas keburukan perilaku kita kepada alam yang telah memberikan kehidupan kepada kita.
Jangan Berhenti pada Gaya Hidup
Atas itu semua, saya berazam pada diri sendiri untuk terus memegang pandangan agar bagus dan baik tidak berhenti sebagai gaya hidup dan pencitraan semata. Tetapi harus berlanjut untuk menjadi budaya hidup. Gaya hidup adalah bentuk seolah-olah. Sedang budaya hidup merupakan hakekat. Karena budaya akan menutut kepada holitisitas. Keparipurnaan. Sedang gaya, adalah bentuk parsialitas dari budaya. Setidaknya inilah pandangan saya.
Dan khusus pada alam yang telah memberikan kepada kita pemenuhan kebutuhan jiwa dan raga, maka jadikanlah budaya baik kepadanya. Jangan pernah meninggalkan jejak buruk atasnya sebagai bentuk rasa terimakasih kita. Karena itu adalah bentuk pengingkaran dan bukan pengakuan terimakasih.
Jakarta, 25 Maret 2012.
No comments:
Post a Comment