Siang ini seusai melaksanakan shalat dzuhur berjamaah, guru yang menjadi imam dalah shalat memerikan pengumuman kepada siswa untuk pakaian seragam yang harus dikenakan oleh siswa besok. Dimana kalau menurut perhitungan, maka urutan hari Kamis besok siswa mengenakan pakaian coklat. Ini penting diumumkan sebelum hari berganti. Mengingat pada setiap Kamis, selain seragam coklat juga ada pakaian batik bebas. Alias Kamis tidak berseragam. Oleh karenanya pengumuman guru itu menjadi penting kedudukannya. Karena bisa dibayangkan jika esok hari ada sebagian siswa yang berseragam coklat ada pula yang mengenakan pakaian batik bebas. Selain akan menjadi belang-bontang jika keadaan itu terjadi, masalah juga akan timbul manakala ada siswa 'perasa' yang mengenakan pakaian berbeda dengan teman-temannya kebanyakan. Ini menjadi semakin rumit bilamana terjadi 'pandangan' dari teman-temannya yang lain. Bully.
Dan untuk menghindari itu semua, maka tidak salah dengan apa yang disampaikan oleh guru seusai menjalankan shalat tersebut. Mengingat antara mengenakan pakaian seragam cokelat dengan pakaian batik bebas di sekolah kami, menjadi keputusan bersama kami. Dan ternyata siswa kami serta semua guru, senang jika pada suatu hari Kamis bertepatan dengan mengenakan pakaian batik bebas.
Di Indonesia Harus Seragam?
Dan berbicara tentang pakaian seragam ini, saya punya anekdot bagus dan memancing pikiran kita untuk mengasah otak. Mengapa? Karena, jika dianalisa, terdapat korelasi yang erat antara berpakaian seragam bagi pegawai, baik negeri atau swasta, dengan polarisasi dan kondisi sosial politik yang ada, di negeri kita ini. Setidaknya, kesadaran tentang hal itu muncul begitu kami, terutama saya dalam sebuah rapat guru, mendapat pertanyaan dari rekan kami yang juga guru; Memang tidak boleh ya, di Indonesia kalau tidak pakai pakaian seragam?
Pertanyaan teman itu muncul ketika dalam rapat kami harus menentukan warna dan potongan untuk pakaian seragam guru tahun pelajaran mendatang. Dan ketika diskusi itu tidak juga mudah untuk membuat keputusan, maka muncul pertanyaan itu. Kami, sekali lagi saya, terkejut juga dengan pertanyaan yang tidak terduga itu. Namun dalam benak saya, pertanyaan sederhana itu benar-benar menonjok kesadaran akan penghormatan terhadap heterogenitas kami. Saya sadar dan berguman dalam hati, iya-ya, mengapa harus berpakaian seragam? Kalau tidak ada pakaian seragam nanti banyak guru yang berpakaiannya tidak matching? Kalau tidak ada pakaian seragam, nanti tidak ada tunjangan pembelian pakaian seragam dari lembaga? Akhir kata, diskusi kami sudahi.
Dan itu pulalah yang terefleksi dari komentar siswa begitu guru memberitahukan bahwa Kamis besok siswa harus mengenakan pakaian seragam cokelat. Siswapun ternyata lebih senang dengan Kamis yang tidak berseragam cokelat. Tetapi Kamis yang berpakaian batik bebas...
Jakarta, 1 Februari 2012.
No comments:
Post a Comment