Kalau di media sekarang ini ada peristiwa bully yang diabadikan dalam film seluler, karena direkam dengan alat komunikasi seluler maka supaya mudah saya sebut saja sebagai film seluler, yang mirip dengan apa yang pernah terjadi beberapa waktu lalu dengan nama gengnya Geng Nero, maka di sekolah saya ada sebuah peristiwa yang mirip itu. Tapi tampaknya ini adalah murni imitasi dan sekaligus coba-coba atau ekperimentasi. Dan justru peristiwa yang saya alami ini telah berlangsung enam tahun lalu. Ingatan itu muncul kembali ketika sore ini saya bertemu dengan si anak yang pernah menjadi ketua geng tersebut. Dan pertemuan itu mengingatkan saya akan peristiwa lampau.
Adalah masih seperti dulu anak itu. Ceplas-ceplos dan apa adanya. Menyenangkan berbicara dengan tipe anak seperti itu. Meski percakapan kami tidak begitu intens. Mengingat saya dan dia dalam posisi sama-sama sedang menonton ekstra kurikuler futsal di lapangan sekolah. Saya sedang menemani siswa, sedang dia sedang menunggu jemputan yang belum juga datang hingga jarum jam menunjuk angka 16.05.
Peristiwa itu berawal manakala saya yang kebetulan berada di ruangan yang lebih dekat dengan kelas mereka di banding dengan ruangan kepala sekolah. Oleh karenanya ketika anak-anak lain memberikan laporan, maka mereka lebih dekat datang ke ruangan saya. Bahwa diantara mereka memiliki kelompok-kelompok atau klik-klik atau geng. Dan kabarnya, menurut laporan itu, ada beberapa geng.
Terpikir bagaimana bentuk geng untuk siswa kelas satu SD? Mana saya mencoba berkoordinasi dengan guru dan kepala sekolah untuk sama-sama ngajak ngobrol anak-anak itu. Dan dari informasi yang kami peroleh, banyak cerita lucu tentang bagaimana bentuk operasional dari geng-geng yang ada itu. Tapi tidak sekedar lucu, justru apa yang mereka lakukan itu memberikan keyakinan kepada kami bahwa, mereka analah anak-anak dengan potensi yang luar biasa hebat.
Sesuai dengan kesepakatan, maka pada keesokan harinya kami akan adakan diskusi panel yang terdiri dari anak-anak geng, guru kelas, kepala sekolah, orangtua anak, dan saya sendiri sebagai moderator. Diskusi kami selenggarakan di ruang yang sedikit besar, di perpustakaan. Dalam pertemuan itu, kepala sekolah menjelaskan tujuan pertemuan. Juga diingatkan kepada orangtua yang hadir untuk ikut mendengarkan. Kemudian saya meminta kepada anak-ana itu untuk bercerita seputar geng yang mereka bentuk dan aktivitasnya masing-masing secara bergantian. Dan tanpa dinyana, salah seorang yang hari ini ngobrol dengan saya itu bercerita bahwa, dia adalah ketua geng yang beranggotakan 3 orang anak. Jadi masih ada yang menjadi wakil dan pengawal. Dan ketika saya bertanya tentang apa tugas dari masing-masing anak dalam geng, dikatakannya bahwa sebagai ketua geng, ia akan mendapat pengawalan dari pengawal geng dan juga didampingi oleh wakil. Kapan? Ketika geng itu akan ke kantin sekolah. Juga menjadi tugas pengawal untuk melakukan transaksi jual-beli di kantin tersebut.
Diskusi panel itu, tak ayal membuat para orangtua anak yang hadir kaget. Diantara mereka tidak menyangka sama sekali kalau anaknya punya 'keterampilan' seperti itu. Termasuk juga saya sendiri yang menjadi moderator diskusi panel itu.
Tapi kami sangat bangga dengan anak-anak itu. Bangga terhadap kepintarannya, keluguannya, ketulusannya, dan egaliternya yang pasti belum mereka sadari. Pertemuan itu akhirnya kami tutup dengan pernyataan saya yang terakhir. Saya katakan bahwa tidak ada lagi geng di sekolah ini. Juga tidak ada lagi yang ketua, wakil, atau pengawal. Karena yang berhak menjadi ketua adalah saya.
Jakarta, 14 Februari 2012.
No comments:
Post a Comment