Ada beberapa kasus siswa di sekolah yang tiba-tiba menolak untuk masuk kelas bersama teman-temannya, untuk berinteraksi dalam belajar. Supaya mudah, saya sebut saja kasus semacam ini dengan istilah mogok belajar. Bukan mogok sekolah. Karena ada juga peserta didik yang jangankan masuk kelas, berangkat sekolah saja sudah tidak mau. Alhasil peristiwa seperti ini, baik yang mogok sekolah atau mogok belajar, akan dan harus menyita waktu kita yang menjadi guru atau juga orangtua.
Dalam artikel kali ini saya akan bercerita tentang mogok masuk kelas atau mogok belajar. Dimana pertengahan pekan lalu terjadi sejak pagi hari ketika seorang anak hanya terlihat tiduran di mushala bersama seorang gurunya. Saya melihatnya pada saat 'berkeliling' menyusuri sudut sekolah. Saya tidak menyapanya karena saya pikir sedang melakukan apa anak itu. Namun pada sekitar pukul 09.00, saya masih mendapati anak tersebut masih dalam kondisi yang belum stabil, maka saya mendekati dan bertanya kepada gurunya apa yang sedang terjadi. Setekah mendapat penjelasan secukupnya, serta tentu saja dengan tambahan sedikit cerita tentang latar belakang anak, saya berketatapan niat untuk menyapanya.
Saya katakan sapaan yang bersahabat. Anak itu diam. Saya berpikir, bahwa anak sedang mengambil pilihan untuk melakukan respon terhadap sapaan saya. Dan ketika beberapa kata saya sampaikan kepadanya, nampak reaksi positif atas sapaan saya. Saya terus melakukan persuasi. Dan untuk membuat semuanya menjadi cair, kepadanya saya tawarkan untuk mengerjakan sesuatu di ruang kerja saya. Saya dudukkan anak itu di meja tamu ruangan kerja saya dengan memberikannya kerta dan alat tulis. Saya minta agar ia melakukan sesuatu dengan alat tulis itu. Mengganbar atau menulis sesuatu. Berjalan. Alhamdulilah.
Beberapa menit berselang, saya simpulkan bahwa anak telah pada kondisi yang jauh kondusif secara emosional. Dan benar, ketika guru kelasnya datang ke ruangan saya, anak itu benar-benar masuk kelas. Saya syukuri peristiwa itu karena telah memancing saya untuk berpikir dengan terus merenung apa yang sedang terjadi dengan anak itu?
Apa Sumbernya?
Apa yang sesungguhnya menjadi sumber masalah dari peristiwa seperti itu? Memang kami akui bahwa anak tersebut memiliki sesuatu yangberbeda dengan teman-temannya. Dan karena berbeda tersebut kami meminta beberapa kali orangtuanya untuk datang dan berdiskusi dengan guru dan kepala sekolahnya. Dan dalam pertemuan-pertemuan itu, serta dengan beberapa masukan dari hasil pengamatan di kelas, kami mengasumsikan bahwa pola asuh menjadi sumber pemicunya.
Dan salah satu dari apa yang sebut dengan pola asuh tersebut adalah betapa sedikitnya kita sebagai orangtua anak di rumah memberikan seluruh jiwa dan raga bersama anak-anak ketika mereka berada di rumah. Beberapa diantara kita memang berada di rumah bersama anak-anak kita, tetapi itu hanya dalam wujud raga. Sedang jiwanya masih merangkai pekerjaan kantor yag belum juga ada beres-beresnya. Atau bahkan selain jiwanya yang tetap saja terpasung dengan apa yang tidak ada kaitannya dengan anak kita, raga kita pun kadag terbelenggu dengan life style yang tidak berujung. Alhasil, anak-anak itu terbiasa bersama kedua orangtuanya secara raga tetapi miski emosi.
Terlalu panjang jika saya bercerita tentang bagaimana anak itu hanya tersenyum ketika saya ajak berbicara. Meski memang ada kendala bahasa karena masih dalam usia yang belia. Namun senyum, cukup bagi saya untuk dapat melihat betapa hati anak itu masih mungkin sekali tumbuh mekar untuk mampu memiliki kecerdasan emosi.
Saya berbahagia bahwa siang itu saya dapat menerbitkan sunyum tulus seorang anak yang mogok masuk kelas. Semoga ke depan, ini dapat menjadi pelajaran bagi keparipurnaan kompetensi saya dalam mengembangkan kepedulian saya sendiri dalam mengarungi bahtera bersama anak-anak saya di rumah. Semoga. Amin.
Jakarta, 28 Februari 2012.
No comments:
Post a Comment