Ini adalah cerita tentang perilaku peserta didik , atau tepatnya calon peserta didik, ketika diobservasi guru pada saat penerimaan peserta didik baru di sekolah. Dan cerita ini saya dapatkan ketika kami sedang berbincang tentang bagaimana menjaring peserta didik baru di sekolah swasta seperti kami, dapat dengan baik mampu mengukur apa yang memang patut dan pas untuk menjadi ukuran. Dan salah satu dari kesimpulannya adalah observasi calon peserta didik ketika si calon peserta didik itu 'bergabung' dengan kelas normal. Dan ini telah berlaku di sekolah dimana teman saya selama ini mengabdikan dirinya sebagai bagian dari pendidik di sekolah tersebut.
Apakah ini cara satu-satunya untuk menentukan bahwa calon peserta didik tersebut diterima atau tidak? Saya yakin bukan. Karena masih banyak sekali cara. Dan jika keterbatasan tempat duduk, dan keyakinan kita bahwa semua peserta didik pintar, serta waktu penerimaan peserta didik baru yang serempak atau kolosal, maka kita membutuhkan sarana untuk membuat keputusan itu menjadi adil buat semua. Maka kami menentukan untuk memilih observasi ketika siswa berada dalam kelas normal bersama peserta didik lain di kelas yang seusianya. Maka cerita ini lahir.
Ada pula sekolah yang membuka pendaftaran untuk peserta didiknya sepanjang tahun berjalan. Cara ini sebenarnya jauh lebih enak dan sekaligus menghemat. Karena siapa saja yang datang terlebih dahulu, sepanjang kuota tempat duduk di kelas ada, maka calon peserta didik akan mengikuti proses observasi untuk kemudian ditentukan masuk. Dan siapa yang datang belakang dan ternyata tempat duduk kosong sudah habis, maka ia akan masuk dalam daftar tunggu. Bila sewaktu-waktu ada peserta didik di kelas yang mengundurkan diri karena suatu sebab, biasanya mengikuti orangtua yang mutasi kerja, maka peserta didik yang ada di daftar tunggu akan dipanggil untuk dilakukan seleksi atau observasi. Namun ini hanya berlaku di sekolah-sekolah dengan kapasistas tempat duduk yang terbatas dan atau dibatasi. Biasanya setiap kelasnya berisi 25 tempat duduk untuk peserta didik.
Perlu Konfirmasi untuk Memutuskan
Dari semua anekdot yang saya dapatkan dari ruang kelas itu, salah satu yang saya tulis dalam artikel ini adalah peserta didik yang selalu memandang observer manakala ia akan memberikan jawaban pada work sheet yang diberikan. Dan perilaku ini hampir selalu terjadi pada waktu si calon peserta didik itu akan memberikan jawabannya. Alhasil, observer menjadikan temuannya itu menjadi catatan khusus terhadap hasil observasinya. Dan pada ujungnya, catatan itu menjadi bahasan menarik ketika panitia mencocokkan dengan hasil wawancara panitia yang lain terhadap kedua orangtuanya. Dua data itu cukup memberikan gambaran bahwa pola asuh calon peserta didik yang didapatkan di rumah sungguh berpengaruh besar kepada ketidakpercayaan diri yang ditampilkan kepada calon peserta didik tersebut.
Apakah ini cara satu-satunya untuk menentukan bahwa calon peserta didik tersebut diterima atau tidak? Saya yakin bukan. Karena masih banyak sekali cara. Dan jika keterbatasan tempat duduk, dan keyakinan kita bahwa semua peserta didik pintar, serta waktu penerimaan peserta didik baru yang serempak atau kolosal, maka kita membutuhkan sarana untuk membuat keputusan itu menjadi adil buat semua. Maka kami menentukan untuk memilih observasi ketika siswa berada dalam kelas normal bersama peserta didik lain di kelas yang seusianya. Maka cerita ini lahir.
Ada pula sekolah yang membuka pendaftaran untuk peserta didiknya sepanjang tahun berjalan. Cara ini sebenarnya jauh lebih enak dan sekaligus menghemat. Karena siapa saja yang datang terlebih dahulu, sepanjang kuota tempat duduk di kelas ada, maka calon peserta didik akan mengikuti proses observasi untuk kemudian ditentukan masuk. Dan siapa yang datang belakang dan ternyata tempat duduk kosong sudah habis, maka ia akan masuk dalam daftar tunggu. Bila sewaktu-waktu ada peserta didik di kelas yang mengundurkan diri karena suatu sebab, biasanya mengikuti orangtua yang mutasi kerja, maka peserta didik yang ada di daftar tunggu akan dipanggil untuk dilakukan seleksi atau observasi. Namun ini hanya berlaku di sekolah-sekolah dengan kapasistas tempat duduk yang terbatas dan atau dibatasi. Biasanya setiap kelasnya berisi 25 tempat duduk untuk peserta didik.
Perlu Konfirmasi untuk Memutuskan
Dari semua anekdot yang saya dapatkan dari ruang kelas itu, salah satu yang saya tulis dalam artikel ini adalah peserta didik yang selalu memandang observer manakala ia akan memberikan jawaban pada work sheet yang diberikan. Dan perilaku ini hampir selalu terjadi pada waktu si calon peserta didik itu akan memberikan jawabannya. Alhasil, observer menjadikan temuannya itu menjadi catatan khusus terhadap hasil observasinya. Dan pada ujungnya, catatan itu menjadi bahasan menarik ketika panitia mencocokkan dengan hasil wawancara panitia yang lain terhadap kedua orangtuanya. Dua data itu cukup memberikan gambaran bahwa pola asuh calon peserta didik yang didapatkan di rumah sungguh berpengaruh besar kepada ketidakpercayaan diri yang ditampilkan kepada calon peserta didik tersebut.
Di luar bahwa kami adalah para panitia dalam penerimaan peserta didik baru, kenyataan itu benar-benar menjadi bahan dan sumber belajar kami. Tentag bagaimana seorang anak yang nyaris kehilangan atau mungkin tidak tumbuh rasa percaya dirinya. Bahkan hanya untuk mengerjakan sesuatu yang harus ia kerjakan secara mandiri. Apa sesungguhnya yang terjadi di balik kenyataan itu?
Kami meraba, bahwa sangat boleh jadi anak tersebut tumbuh dalam situasi tuntutan. Dan ketika si anak memiliki rasa sensitifitas yang baik, maka tuntutan lingkungan tersebut menjadi hambatan yang luar biasa besar baginya meski itu hanya untuk melangkah ke depan. Tapi mungkin pula apa yang kami raba adalah salah. Namun setidaknya, sangat tidak layak bagi kita yang dewasa memberikan permintaan yang pada akhirnya menjadi bendungan dan hambatan bagi sebuah tumbuhnya karakter fitrah pada jiwa yang masih belia.
Semoga itu tidak terjadi pada kami, dan juga Anda. Amin.
Kami meraba, bahwa sangat boleh jadi anak tersebut tumbuh dalam situasi tuntutan. Dan ketika si anak memiliki rasa sensitifitas yang baik, maka tuntutan lingkungan tersebut menjadi hambatan yang luar biasa besar baginya meski itu hanya untuk melangkah ke depan. Tapi mungkin pula apa yang kami raba adalah salah. Namun setidaknya, sangat tidak layak bagi kita yang dewasa memberikan permintaan yang pada akhirnya menjadi bendungan dan hambatan bagi sebuah tumbuhnya karakter fitrah pada jiwa yang masih belia.
Semoga itu tidak terjadi pada kami, dan juga Anda. Amin.
Jakarta, 10-12 Februari 2012.
No comments:
Post a Comment