Waktu menunjukkan pukul 04.20, menjelang subuh pada hari Jumat tanggal 22 April 2011. Posisi saya ada di dalam bus malam Sumber Alam, dalam perjalanan Jakarta-Yogyakarya, Bus harus berhenti untuk antri setelah perlintasan kereta api Tonjong. Persisnya menjelang tanjakan Ciregol, kecamatan Tonjong, kabupaten Bumiayu. Masuk wilayah provinsi Jawa Tengah.
Sebuah tanjakan yang akibat longsor beberapa waktu yang lalu, sekarang dalam proses perbaikan. Dlam perbaikan inilah maka kendaraan tidak dapat menggunakan ruas jalan tersebut secara bersama. Harus bergantian. Dan tampak sekali sukarelawan mengaturnya secara 24 jam non stop.
Dengan tanjakan lebih kurang 30 derajat, menjadi tantangan tersendiri untuk kendaraan besar seperti bus yang saya tumpangi. Termasuk juga bus-bus lain yang terpaksa harus melalui jalur ini. Harus, karena perjalanan dengan kendaraan besar dari Jakarta menuju Jawa Tengah bagian selatan yang tujuannya Ajibarang, Wangon, Purwokerto, akan melalui jalan ini untuk menyingkat jarak. Ada pilihan jalan lain, yaitu melalui Cipularang, Ngrek, Malangbong, Tasikmalaya, yang juga belum tentu lancar. Dan jadilah tanjakan ini sebagai titik rawan kemacetan dan bahkan kecelakaan mana kala kendaraan tidak mampu naik dan mundur.
Saat penaklukan akan berlangsung, supir bus meminta kepada kernetnya untuk mempersiapkan balok atau batu yag relatif besar, yang nantinya digunakan sebagai ganjal ban jika bus berhenti di tengah-tengah tanjakan, atau karena antrian atau karena mesin tiba-tiba mati. Harap maklum karena tanjakan hasil perbaikan yang di cor semen itu masih merupakan tanjakan yang tergolong terjal bagi kendaraan besar. Meski rentang tanjakan tidak begitu panjang. Supir juga memohon kepada penumpang yang laki-laki untuk turun dari bus dan menunggu di atas tanjakan.
Tentu berbeda dengan mobil kecil dalam menghadapi tanjakan Ciregol ini. Mereka yang ada dalam antrian itu meski pengendaranya cukup konsentrasi, namun tampaknya kendaraan mereka relatif siap untuk menaklukkan tanjakan itu. Namun laju mereka terpaksa harus berhenti karena ada di antrian belakang.
Bus yang berada dalam antrian terdepan, yang kebetulan berada di depan bus yang saya tumpangi, bersiap untuk menaklukan tanjakan itu. AC dan lampu bus telah dimatikan. Itu strategi untuk mengurangi arus listrik. Sebagai bagian dari usaha agar bus dapat naik tanjakan dengan lebih mudah. Dengan gas besarnya, ternyata bus belum dapat mulus melalui tanjakan. Mu situ mati msin ketika baru berada di tengah tanjakan. Kami yang menonton, melihatnya dengan panic. Alhasil seluruh penumpang bus itu, termasuk anak-anak pun diminta pak supirnya untuk berpartisipasi dengan mengurangi baban bus. Turun. Alhamdulillah, Bus berhasil lolos melalui tanjakan itu.
Bergati bus antrean kedua. Yang di dalamnya antara lain termasuk istri saya. Alhamdulillah bahwa bus saya tidak perlu stug di tengah tanjakan. Dengan gas besar yang stabil. Nampak bus itu cukup perkasa.Sementara arus kendaraan dari arah yang berlawanan cukup sabar menunggu. Tentu karena tidak dibatasi waktu dalam penaklukan tanjakan itu, maka mobil-mobil yang antri tersebut harus mematikan mesinnya.
Situasi masih gelap ketika beberapa kilometer di depan kami memasiki kota Bumiayu. Karena ada bagian lain di Bumiayu ini yang longsor sehingga kami semua harus masuk pasar Bumiayu. Persisnya longsornya bibir sungai di kaki jembatan antara Pom Bensin Sakalibel dengan Terminal Bumiayu.
Pengalaman ini menerbitkan Tanya pada diri saya; Apa lagi yang terjadi dengan infrastruktur jalan kita? Bagaimana mungkin perbaikan jalan tidak sekaligus memikirkan kemiringan tanjakan? Atau juga ketahanannya? Atau kelebarannya? Mungkin sekali bahwa itu semua karena keterbatasan dana yang ada. Tapi, hingga kapan kita hanya mampu menangani masalah yang sama hanya untuk jangka sangat pendek?
Berapa rupiah semen harus dijual kepada para konsumennya jikalau truknya harus melalui tanjakan yang terjal itu? Atau berapa tinggi harga barang lainnya?
Inilah sekedar catatan perjalanan saya, yang masih berada di Pulau Jawa…
Purwokerto, 22 April 2011- Jakarta, 25 April 2011.
No comments:
Post a Comment