Alhamdulillah, saya masih bisa mendengar kicau burung lumayan meriah persis di depan mushola sekolah saya. Yang posisinya berada berseberangan dengan Taman Kota perumahan Pulomas, Jakarta Timur. Sebuah taman kota yang diapit oleh jalan satu lajur dan juga satu arah dan kali yang juga sebagai batas wilayah sekolah.
Sebuah taman, yang menurut rencana tata kota, akan menjadi sebuah jalan raya dua lajur, sehingga akan lenyap juga, tapi entah kapan rencana pembuatan jalan dua lajur tersebut akan menjadi nyata. Saya berharap sangat, agar pemerintah kota lupa akan rencana pembuatan jalan tersebut sehingga siswa saya tetap dapat selalu mendengar kicau burung yang menjadi penghuninya.
Sungguh bunyi yang meriangkan hari saya pagi itu. Saya segera mengenakan kaos kaki. sebelum akhirnya meninggalkan beranda mushola. Sebuah pagi yang memberikan harapan besar pada harmoni kehidupan yang banyak telah tercabik oleh kebiasaan buruk sebagian kita. Yaitu kebiasaan untuk menangkapi dan menjual belikan dalam sangkar. Sebagaimana beberapa bulan yang lalu yang harus saya minta untuk tidak dilanjutkan akan kebiasaan sahabat saya, saat hari menjelang malam, untuk mempertunjukkan kepada teman-temannya betapa mahirnya dia menggunakan senapan angin dengan menjatuhkan seekor burung yang terbang di langit kemudian menjadi terkapar di halaman sekolah sebelum akhirnya dibakar untuk disantap. Merekalah sekelompok burung tekukur atau kutilang. Yang kicauannya mengingatkan saya selalu kepada kampung halaman.
Kenyataan saya mendengar kembali kicau burung di pagi itu, mengusik batin saya setelah berita yang memperlihatkan liatnya pertumbuhan ulat bulu di Jakarta. Ini adalah perkembangan setelah kasus pertama di beritakan di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Dan keyataan kicauan burung yang lumayan meriah pada pagi itu di depan mushola sekolah, tak pelak lagi menumbuhkan harapan saya atas harmoni kehidupan alam.
Di halaman belakang sekolah, dimana terdapat menara mushola yang tidak berpengeras suara lagi, karena kabarnya pernah membuat berisik para penghuni sebelah, pohon mangga usia lima tahunan, pada daunnya juga bergerombol koloni semut rang-rang membangun rumah sebagai bagian dari proses beranakpinaknya. Ini juga harapan lainnya bagi saya akan ketidak hadirannya pertumbuhan ulat bulu yang tidak terkendali.
Namun, mungkin justru seperti itulah skenario yang harus dibangun oleh alam dalam rangka membangunkan daya sensitivitas manusia kepada keharmonisan hidup yang ada di lingkungannya. Dan semoga pula, kenyataan itu benar-benar malahirkan kesadaran dan visi baru terhadap lingkungan.
Karena hanya dengan lahirnya kesadaran seperti itu saja maka kita dapat melanjutkan perjalanan hidup ke depan dengan tenteram dan mudah-mudahan juga dengan sejahtera. Semoga.
Jakarta, 19 April 2011.
No comments:
Post a Comment