Siang ini, Rabu, 13 April 2011, saya berkesempatan untuk makan di warung nasi yang berdampingan posisinya dengan SMA 21 Jakarta Timur. Kesempatan berharga. Karena selama ini saya tidak keluar untuk mencari makan sendiri. Biasanya kami memesan makanan kepada pramubakti di sekolah untuk dibelikan. Dan kami tinggal makan bersama-sama teman kantor lainnya. Namun entah mengapa, pagi itu saya meresa lapar tidak ketulungan, sehingga harus hunting sendiri makanan.
Warung makan ini biasa disebut sebagai warung nasi twenty one. Mungkin karena posisinya yang dekat sekolah 21 sehingga nomor sekolah itu melekat erat juga dengan nama warung itu. Pukul 11.00 siang saya telah berada di warung itu, yang kedaannya masih relatif sepi. Sepi menurut ukuran warung itu bila setiap orang yang makan masih mendapat tempat duduk. Karena pada 'jam sibuk', kita perlu antri sebelum mendapatkan tempat duduk untuk makan. Padahal warung itu sekedar warung makan atau sering disebut juga Warteg.
Nasib Pejalan Kaki
Saat kembali ke tempat kerja, setelah selesai menunaikan makan, saya terkaget begitu keluar dari warung makan itu. Karena trotoar yang ada habis disita oleh pot kembang raksasa di sepanjang trortor yang ada. Luar biasa tidak tolerannya pejabat yang memutuskan meletakkan pot kembang itu. Pikir saya. Betapa tidak? Saya yang pejalan kaki benar-benar telah ditiadakan eksistensinya. Meski cukup bagi saya untuk dapat sekedar lewat saja? Dari pengalaman ini, saya berkeinginan suatu kali nanti akan mengajak kawan,. sahabat, atau saudara saya yang menjadi pejabat untuk suatu kali makan di warung makan itu, dan kemudian saya akan tunjukkan padanya tentang bagaimana menang Adipura dengan terciptanya kultur hidup bersih dan indah. Tidak sekedar apa yang saya alami seusai makan di warung makan dua satu itu.
Pot besar yang memenuhi jalan khusus pejalan kaki itu, yang tampaknya, desainnya tidak sebanding dengan kualitas cetakan pembuatannya itu, telah menghabiskan 85 % area untuk pejalan kaki. Saya akhirnya berdamai dengan kondisi dan situasi itu, serta memilih berjalan di jalan raya.
Jakarta, 13 April 2011.
Warung makan ini biasa disebut sebagai warung nasi twenty one. Mungkin karena posisinya yang dekat sekolah 21 sehingga nomor sekolah itu melekat erat juga dengan nama warung itu. Pukul 11.00 siang saya telah berada di warung itu, yang kedaannya masih relatif sepi. Sepi menurut ukuran warung itu bila setiap orang yang makan masih mendapat tempat duduk. Karena pada 'jam sibuk', kita perlu antri sebelum mendapatkan tempat duduk untuk makan. Padahal warung itu sekedar warung makan atau sering disebut juga Warteg.
Nasib Pejalan Kaki
Saat kembali ke tempat kerja, setelah selesai menunaikan makan, saya terkaget begitu keluar dari warung makan itu. Karena trotoar yang ada habis disita oleh pot kembang raksasa di sepanjang trortor yang ada. Luar biasa tidak tolerannya pejabat yang memutuskan meletakkan pot kembang itu. Pikir saya. Betapa tidak? Saya yang pejalan kaki benar-benar telah ditiadakan eksistensinya. Meski cukup bagi saya untuk dapat sekedar lewat saja? Dari pengalaman ini, saya berkeinginan suatu kali nanti akan mengajak kawan,. sahabat, atau saudara saya yang menjadi pejabat untuk suatu kali makan di warung makan itu, dan kemudian saya akan tunjukkan padanya tentang bagaimana menang Adipura dengan terciptanya kultur hidup bersih dan indah. Tidak sekedar apa yang saya alami seusai makan di warung makan dua satu itu.
Pot besar yang memenuhi jalan khusus pejalan kaki itu, yang tampaknya, desainnya tidak sebanding dengan kualitas cetakan pembuatannya itu, telah menghabiskan 85 % area untuk pejalan kaki. Saya akhirnya berdamai dengan kondisi dan situasi itu, serta memilih berjalan di jalan raya.
Jakarta, 13 April 2011.
No comments:
Post a Comment