Pagi hari ini, di hall sekolah, saya menyaksikan atraksi anak-anak TK di depan teman-temannya dan juga di depan para ayah bunda mereka. Kegiatan yang dilakukan oleh siswa berkenaan dengan puncak tema yang mereka usung sepanjang lebih kurang empat pekan ini, berwirausaha. Diantara penampilan itu adalah panampilan tari kontemporer hasil karya cipta ibu guru mereka juga, yang diiringi dengan lagu kunang-kunang. Sebuah lagu yang membuat saya tergelitik dan tidak bisa lagi berhenti berpikir mengenang kembali binatang yang terabadikan dalam lagu itu.
Ya, kunang-kunang, siapa diantara generasi seusia mereka itu yang pernah melihat binatang kunang-kunang, yang mengeluarkan cahaya ketika berterbangan di senja hingga malam hari secara langsung di alam nyata? Tidak seorang pun. Bahkan gurunya pun, sebagai pelatih lagunya, tidak semuanya pernah melihat bagaimana kunang-kunang mengeluarkan cahaya 'kelap-kelip'nya yang menyala dan bersinar seperti bintang di malam hari?
Dengan kenyataan inilah, maka saya bercerita kepada anak-anak bagaimana kunang-kunang itu. Sebuah pengalaman yang terakhir saya lihat di desa saya, yang berada di ujung kabupaten Purworejo lebih kurang tahun 1979. Sebuah pemandangan yang selalu muncul di pinggiran sawah bengkok milik desa kami jika saya terlambat pulang ke rumah seusai bermain sepak bola di kampung sebelah. Dan pengalaman seperti itu pun tidak berlangsung lama. Karena sawah bengkok desa itu akhirnya dijadikan lapangan sepak bola oleh anak muda desa, termasuk saya, sebagai faslitas desa. Sehingga kunang-kunang tidak pernah muncul lagi di desa kami. Pergi entah kemana.
Kunang-Kunang di Resun-Pancur
Saya kembali melihat kunang-kunang itu setelah lebih kurang 30 tahun. Benar, 30 tahun! Tidak saja pengalaman baru ini menjadikan saya bahagia karena seperti menemukan kembali kenangan yang telah lama hampir saya lupa. Tetapi juga sekaligus membuat saya terhenyak kaget dan kagum akan banyaknya rombongan kunang-kunang yang mengiringi perjalanan saya dengan spead boat di sepanjang sungai yang saya lalui, antara Resun menuju Hotel Winner di Pancur, kabupaten Lingga, pada Desember 2009 lalu.
Kunang-kunang itu seperti kawanan lebah yang berjumlah tidak saja ratusan, tetapi jauh lebih banyak dari itu. Mungkin ribuan. Mereka bergerombol membentuk koloni dengan lampu pijarnya yang kelap-kelip di sepanjang tepian sungai itu. Luar biasa indah. Ketika perahu dengan 12 orang penumpang termasuk saya melaju menuju hulu sungai dimana hotel yang kami tuju itu berada, koloni kunang-kunang tiada habisnya. Terus saya menemui mereka. Seperti mereka sedang mengiringi perjalanan kami.
Tak henti-hentinya lidah saya berdecak kagum sekaligus terkesima. Sebuah pengalaman luar biasa mengesankan, yang mungkin akan sulit lagi saya menemukannya sepanjang hidup saya ketika kembali hidup normal di Pulau Jawa?
Sama sulitnya, jika saya kembali ke kampung halaman, untuk menemukan kicauan burung yang bebas berterbangan di pepohonan yang hidup rimbun di pekarangan rumah orangtua. Mungkin hanya teriakan burung hantu ketika senja menjelang. Atau sesekali burung bence, yang kata tetangga saya sebagai pertanda akan adanya orang yang meninggal dunia jika burung ini bersuara. Suara ayam hutan jantan yang khas dengan penuh tenaga saat menyambut subuh pun, juga sudah lama tidak saya dengar lagi.
Dengan kanyataan hidup seperti itu, saya kembali teringat akan lagu kunang-kunang yang dinyanyikan siswa saya pagi ini. Saya berpikir; alangkah sepinya nuansa alam mengiringi hidup generasi mereka.
Jakarta, 8 April 2011.
Ya, kunang-kunang, siapa diantara generasi seusia mereka itu yang pernah melihat binatang kunang-kunang, yang mengeluarkan cahaya ketika berterbangan di senja hingga malam hari secara langsung di alam nyata? Tidak seorang pun. Bahkan gurunya pun, sebagai pelatih lagunya, tidak semuanya pernah melihat bagaimana kunang-kunang mengeluarkan cahaya 'kelap-kelip'nya yang menyala dan bersinar seperti bintang di malam hari?
Dengan kenyataan inilah, maka saya bercerita kepada anak-anak bagaimana kunang-kunang itu. Sebuah pengalaman yang terakhir saya lihat di desa saya, yang berada di ujung kabupaten Purworejo lebih kurang tahun 1979. Sebuah pemandangan yang selalu muncul di pinggiran sawah bengkok milik desa kami jika saya terlambat pulang ke rumah seusai bermain sepak bola di kampung sebelah. Dan pengalaman seperti itu pun tidak berlangsung lama. Karena sawah bengkok desa itu akhirnya dijadikan lapangan sepak bola oleh anak muda desa, termasuk saya, sebagai faslitas desa. Sehingga kunang-kunang tidak pernah muncul lagi di desa kami. Pergi entah kemana.
Kunang-Kunang di Resun-Pancur
Saya kembali melihat kunang-kunang itu setelah lebih kurang 30 tahun. Benar, 30 tahun! Tidak saja pengalaman baru ini menjadikan saya bahagia karena seperti menemukan kembali kenangan yang telah lama hampir saya lupa. Tetapi juga sekaligus membuat saya terhenyak kaget dan kagum akan banyaknya rombongan kunang-kunang yang mengiringi perjalanan saya dengan spead boat di sepanjang sungai yang saya lalui, antara Resun menuju Hotel Winner di Pancur, kabupaten Lingga, pada Desember 2009 lalu.
Di Dermaga Resun. Dok. Pribadi |
Tak henti-hentinya lidah saya berdecak kagum sekaligus terkesima. Sebuah pengalaman luar biasa mengesankan, yang mungkin akan sulit lagi saya menemukannya sepanjang hidup saya ketika kembali hidup normal di Pulau Jawa?
Sama sulitnya, jika saya kembali ke kampung halaman, untuk menemukan kicauan burung yang bebas berterbangan di pepohonan yang hidup rimbun di pekarangan rumah orangtua. Mungkin hanya teriakan burung hantu ketika senja menjelang. Atau sesekali burung bence, yang kata tetangga saya sebagai pertanda akan adanya orang yang meninggal dunia jika burung ini bersuara. Suara ayam hutan jantan yang khas dengan penuh tenaga saat menyambut subuh pun, juga sudah lama tidak saya dengar lagi.
Dengan kanyataan hidup seperti itu, saya kembali teringat akan lagu kunang-kunang yang dinyanyikan siswa saya pagi ini. Saya berpikir; alangkah sepinya nuansa alam mengiringi hidup generasi mereka.
Jakarta, 8 April 2011.
No comments:
Post a Comment