Pagi menjelang subuh hari itu, yang bertepatan hari Sabtu, 23 April 2011, tidak saya dengar lagi kokok ayam hutan atau kami menyebutnya ayam alas, seperti menjelang subuh hari pada sepuluh tahun yang lalu. Meski saya telah menunggu sejak sebelum subuh hingga matahari benar-benar tampak. Kokok ayam hutan tetap tidak saya dengar.
Perlu saya sampaikan disini bahwa kampungku ada di kilometer 18 ruas jalan raya yang menghubungkan antara Purworejo-Yogyakarta. 8 kilometer jauhnya dari daerah Pantai Glagah Indah. 13 meter berada di atas permukaan laut, seperti yang tertera di stasiun kereta api Wojo. Masuk kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Itulah kampungku. Lima belas tahun usiaku habis di sini sebelum aku harus merantau ke Jakarta. Tempat tinggalku sekarang.
Hingga subuh berlalu, hanya suara jangkrik dan binatang sejenisnya yang nyaring bersimponi sepanjang malam hingga pagi itu. Juga ayam peliharaan Mamak dan tetangga yang saling bersahutan. Dan sekali lagi, tidak ada kokok ayam hutan. Kokok khas yang selalu saya rindukan.
Suara kokoknya yang khas, menyerupai kokok ayam kampung, namun seperti kokok ayam yang tidak atau belum fasih, dengan rentang kokoknya yang pendek-pendek namun penuh tenaga, sungguh kokok yang menggairahkan hidup, bila pagi hari kita dihiasi kokok ayam hutan.
Sepuluh tahun lalu, kokok itu selalu muncul di rumpun bambu yang ada di pojokan pekarangan rumah orangtua saya. Mereka kadang bersahutan dengan sesamanya namun dengan jarak yang tidak berdekatan.
Pernah diwaktu remaja, kami warga kampung gotong royong membersihkan semak yang ada di makam kampung, dan menjumpai sarang serta telur ayam hutan ketika kami harus membatat dan membersihkan alang-alang. Dan karena semak harus bersih, jadilah habitat mereka habis. Pada saat itulah induk yang kami pergoki itu lari tungganglanggang dan kemudian terbang dengan sangat enerjiknya. Tanpa bisa kami ikuti kegesitannya. Seperti juga kokokannya yang melengking, cepat, dan bertenaga. Ayam itu bergetak dengan amat sangat dinamisnya.
Dan sejak hari itu, sya benar-benar tidak mendengar lagi kokok ayam hutan di kampung dimana saya mengahbiskan masa kecil saya. Apa inikah pertanda bahwa alam dan penghuninya semakin kurang harmoni?
Wojo, 22 April 2011-Jakarta, 25 April 2011.
Perlu saya sampaikan disini bahwa kampungku ada di kilometer 18 ruas jalan raya yang menghubungkan antara Purworejo-Yogyakarta. 8 kilometer jauhnya dari daerah Pantai Glagah Indah. 13 meter berada di atas permukaan laut, seperti yang tertera di stasiun kereta api Wojo. Masuk kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Itulah kampungku. Lima belas tahun usiaku habis di sini sebelum aku harus merantau ke Jakarta. Tempat tinggalku sekarang.
Hingga subuh berlalu, hanya suara jangkrik dan binatang sejenisnya yang nyaring bersimponi sepanjang malam hingga pagi itu. Juga ayam peliharaan Mamak dan tetangga yang saling bersahutan. Dan sekali lagi, tidak ada kokok ayam hutan. Kokok khas yang selalu saya rindukan.
Suara kokoknya yang khas, menyerupai kokok ayam kampung, namun seperti kokok ayam yang tidak atau belum fasih, dengan rentang kokoknya yang pendek-pendek namun penuh tenaga, sungguh kokok yang menggairahkan hidup, bila pagi hari kita dihiasi kokok ayam hutan.
Sepuluh tahun lalu, kokok itu selalu muncul di rumpun bambu yang ada di pojokan pekarangan rumah orangtua saya. Mereka kadang bersahutan dengan sesamanya namun dengan jarak yang tidak berdekatan.
Pernah diwaktu remaja, kami warga kampung gotong royong membersihkan semak yang ada di makam kampung, dan menjumpai sarang serta telur ayam hutan ketika kami harus membatat dan membersihkan alang-alang. Dan karena semak harus bersih, jadilah habitat mereka habis. Pada saat itulah induk yang kami pergoki itu lari tungganglanggang dan kemudian terbang dengan sangat enerjiknya. Tanpa bisa kami ikuti kegesitannya. Seperti juga kokokannya yang melengking, cepat, dan bertenaga. Ayam itu bergetak dengan amat sangat dinamisnya.
Dan sejak hari itu, sya benar-benar tidak mendengar lagi kokok ayam hutan di kampung dimana saya mengahbiskan masa kecil saya. Apa inikah pertanda bahwa alam dan penghuninya semakin kurang harmoni?
Wojo, 22 April 2011-Jakarta, 25 April 2011.
No comments:
Post a Comment