Jika di belahan lain di dunia ini orang masih mengeluhakan sulitnya mengakses pendidikan (formal) semacam untuk masuk san duduk di bangku sekolah, karena sedikitnya dana pemerintah yang diperuntukkan untuk subsidi pendidikan bagi anak orang miskin, tapi masih ada siswa saya yang tergolong mampu dan beruntung sehingga bisa masuk sekolah dengan biaya sendiri tanpa diberikan subsidi, tapi ketika masuk dengan tidak mengenakan pakaian seragam, dan saya menegurnya mengapa tidak berpakaian seragam, malah menjawabannya; "Masih mending saya masuk sekolah Pak."
Kok bisa? Sempat bingung juga bagi saya untuk menemukan jalan pikiran anak itu ketika menjawab dengan kalimat songong itu. Bukankah, pikir saya, sebagai siswa itu kalau masuk atau tidak masuk sekolah menjadi tanggungjawab sendiri si peserta didik? Bukankah karena itu akan berimplikasi kepada kinerja dia sebagai seorang siswa yang harus mempertanggungjawabkan biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh kedua orangtuanya? Tetapi setelah merenung sedikit, saya akhirnya menemukan jalan pikirnya. Bahwa mengapa Bapak Guru mesti bertanya mengapa saya tidak mengenakan pakaian seragam sekolah? Yang penting saya kan datang dan sampai di sekolah. Kalau saya tidak datang ke sekolah bukankah Bapak Guru yang rugi? Terbalik bukan, cara bernalarnya?
Meski begitu jungkir baliknya kenyataan itu, tetapi itulah yang harus saya hadapi di pagi itu. Ketika semua temannya berseragam Pramuka, maka dia seorang dirilah yang tidak ber-Pramuka. Namun itulah jawabannya ketika saya bertanya kepadanya.
Saya berpikir, mungkinkah saya yang salah dan bodoh sehingga harus bertanya tentang pakaian seragamnya yang tidak bener? Atau barangkali karena kesalahan bertanya seperti itu maka layak si anak tersebut balik 'menyerang' saya dengan seolah-olah dia sendiri tidak merasa rugi ketika bersekolah atau tidak bersekolah?
Serba Enak
Kenyataan itu kemudian saya coba diskusikan dengan teman-teman guru yang lain. Kok begitu realitas yang ada pada anak didik kita? Kata saya. Lalu kami menemukan realitas lain yang benar-benar menjadi lingkungan dan sekaligus pendukung bagi perkembangnya anak-anak didik kami. Salah satunya adalah lingkungan yang serba enak, serba mudah, serba tersedia.
Kenyataan ini menjadikan mereka tumbuh tidak berbekal daya juang yang pantang menyerah. Semua serba mudah dia dapat dan peroleh. Termasuk berangkat ke sekolah. Dan kenyataan ini juga menarik jauh semangat untuk berprestasi ketika berada di lingkungan sekolah. Entah di buang ke arah mana motivasi berprestasi itu. Sehingga ajakan kami agar mengisi hamparan waktu dengan segiat mungkin merebut sukses apapun bentuknya di sekolah, dimaknai sebagai ceramah.
Meski kenyataan ini membuat kami sedikit merenung, tapi pantang untuk susut ke belakang. Karena masih terlalu banyak teman-temannya yang meski berkelebihan materi, namun keluarganya selalu memberikan bara api untuk bersemangat dalam memperjuangkan masa depan yang jauh lebih baik. Dan kepada generasi dari model keluarga seperti itulah kami menyalakan spirit. Semoga, harapan kami, anak tidak berseragam itu segera mendapatkan sesuatu yang membuatnya 'kembali' ke jalan yang sama-sama kami harapkan. Amin.
Jakarta, 22 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment