Dalam sebuah kagiatan
'tebar hewan kurban' yang menjadi agenda tahunan, dalam setiap kegiatan
peringatan Idul Adha di sekolah kami, salah satu pengalaman menarik bagi
kami, atau khususnya saya, adalah pengalaman untuk dapat menginap di lokasi pemotongan hewan kurban. Dan
karena lokasi berkurban setiap tahunnya berbeda-beda dan tentunya dengan
anggota panitia yang berbeda-beda pula, maka apa yang menjadi catatan bagi saya dalam mengikuti kegiatan yang dapat daya catat tersebut juga tentunya tidak
dapat menyeluruh.
Artinya, tidak setiap tahun dalam pelaksanaan kegiatan 'tebar hewan kurban' menjadi bahan catatan saya. Karena saya sendiri juga tidak setiap tahunnya berada di setiap lokasi kegiatan. Namun pengalaman yang pernah saya alami sendiri ini
setidaknya dapat menjadi gambaran bagaimana kehidupan masyarakat desa
yang yang kami kunjungi dan menjadi lokasi kegiatan kami ini dalam kehidupan kesehariannya.
Di Pesantren
Ada beberapa kali kami memilih lokasi pesantren sebagai sasaran kegiatan. Tentu pesantren yang dapat dikatakan pesantren kecil. Bukan karena jumlah santrinya yang sedikit sehingga kami katakan pesantren kecil itu adalah pesantren kecil. Tetapi mungkin karena penampilannya. Walau demikian, ada salah satu pengasuh pesantren yang kami kunjungi itu adalah seorang tokoh Majelis Ulama Indonedia, MUI di Kabupaten Bekasi. Juga di sebuah pesantren yang lainnya lagi, yaitu sebuah pesantren yang berada di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Ketika kami menginap di pesantren yang ada di Bekasi tersebut, menunggu kegiatan pemotongan hewan kurban yang kami laksanakan di hari Tashryk pertama, setelah Shalat Isyak, Pak Kiai, yang mengasuh pesantren itu memberikan briefing kepada seluruh jamaah, yang ternyata adalah para panitia pelaksana pemotongan kurban, tentang pelaksanaan pemotongan hewan kurban esok hari. Briefing todak berjalan terlalu lama. Para jamaah yang juga adalah panitia tersebut, adalah mereka yang berasal dan tinggal dari kampung-kampung yang berada diseputar pesantren. Kampung-kampung mereka satu sama lainnya hanya dipisahkan oleh area persawahan, yang alhamdulillah masih terhanpar luas.
Acara briefing selesai, dilanjutkan dengan diskusi tentang berbagai hal dengan nara sumber pak Kiai dan peserta diskusi kami yang menjadi perwakilan dari sekolah di Jakarta. Namun dari obrolan itu, akhirnya mengerucut kepada pembacaan beberapa kalimat yang ada dalam sebuah kitab yang diambil Kiai dari rak buku yang ada di ruang tamunya. Kami semua menikmati kajian informal yang mengenyangkan rohani dan akal itu. Luar biasa.
Setelah acara berakhir, barulah kami menuju ke tanpat tidur masing-masing. Teman-teman anggota tim mengambil tempat tidur di salah satu ruang belajar para santri yang untuk sementara di sulat sebagai kamar. Sedang saya bersama anak tidur di kendaraan.
Di Masjid Aliran Sesat
Lain bermalam di pesantren lain pula ketika kami menginap di dalam masjid yang ada di sebuah tempat yang lebih kurang berjarak 150-an kilometer dari kampus atau sekolah kami berada. Sebuah masjid dengan aliran air wudu yang bersih, jernih, dan mengalir tiada henti. Masjid yang bagian belakangnya justru menghadap jalan raya, yang hanya dibatasi oleh bebarapa dapuran pohon bambu. Sedang halaman depannya berbagi bersama halaman salah seorang pengurusnya. Sungguh membuat suasana masjid yang khas pedesaan.
Tebar hewan kurban di tempat itu membawa kesan tersendiri kepada kami semua bahwa bekerja sama dengan aparat resmi desa atau DKM sebuah tempat ibadah, menjadi hal yang penting. Ini karena tiga atau empat tahun sesudah kegiatan kami tersebut, dari berita di surat kabar dan media telivisi kami baru mngetahui bahwa masjid dimana kami pernah menginap itu adalah sebuah masjid yang beraliran sesat.
Di Kampungnya Para TKI
Berbeda pengalaman menginap di Pesantren atau di sebuah masjid yang ternyata dimiliki oleh sebuah aliran sesat, adalah pengalamanmenginap di sebuah desa yang hampir setiap anggota keluarganya ada yang menjadi TKI. Ini kami alami di sebuah lokasi tebar hewan kurban di daerah Subang.
Semula kami sedikit kaget dengan cukup banyaknya rumah-rumah tembok warga. Namun setelah siang harinya, yaitu ketika kami memulai bercengkerama dengan warga dan DKMnya, kesan rumah tembok yang mengisyaratkan bahwa penghuninya mampu itu sirna. Karena hampir semua warga yang tinggal di rumah-rumah tembok itu adalah para pekerja buruh tani. Rumah temboknya itu adalah 'hasil' dari kerja keras para perantau yang ada di keluarganya. Maka keseharian mereka tetap dari bekerja sebagai buruh tani tersebut.
Di Pesantren
Ada beberapa kali kami memilih lokasi pesantren sebagai sasaran kegiatan. Tentu pesantren yang dapat dikatakan pesantren kecil. Bukan karena jumlah santrinya yang sedikit sehingga kami katakan pesantren kecil itu adalah pesantren kecil. Tetapi mungkin karena penampilannya. Walau demikian, ada salah satu pengasuh pesantren yang kami kunjungi itu adalah seorang tokoh Majelis Ulama Indonedia, MUI di Kabupaten Bekasi. Juga di sebuah pesantren yang lainnya lagi, yaitu sebuah pesantren yang berada di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Ketika kami menginap di pesantren yang ada di Bekasi tersebut, menunggu kegiatan pemotongan hewan kurban yang kami laksanakan di hari Tashryk pertama, setelah Shalat Isyak, Pak Kiai, yang mengasuh pesantren itu memberikan briefing kepada seluruh jamaah, yang ternyata adalah para panitia pelaksana pemotongan kurban, tentang pelaksanaan pemotongan hewan kurban esok hari. Briefing todak berjalan terlalu lama. Para jamaah yang juga adalah panitia tersebut, adalah mereka yang berasal dan tinggal dari kampung-kampung yang berada diseputar pesantren. Kampung-kampung mereka satu sama lainnya hanya dipisahkan oleh area persawahan, yang alhamdulillah masih terhanpar luas.
Acara briefing selesai, dilanjutkan dengan diskusi tentang berbagai hal dengan nara sumber pak Kiai dan peserta diskusi kami yang menjadi perwakilan dari sekolah di Jakarta. Namun dari obrolan itu, akhirnya mengerucut kepada pembacaan beberapa kalimat yang ada dalam sebuah kitab yang diambil Kiai dari rak buku yang ada di ruang tamunya. Kami semua menikmati kajian informal yang mengenyangkan rohani dan akal itu. Luar biasa.
Setelah acara berakhir, barulah kami menuju ke tanpat tidur masing-masing. Teman-teman anggota tim mengambil tempat tidur di salah satu ruang belajar para santri yang untuk sementara di sulat sebagai kamar. Sedang saya bersama anak tidur di kendaraan.
Di Masjid Aliran Sesat
Lain bermalam di pesantren lain pula ketika kami menginap di dalam masjid yang ada di sebuah tempat yang lebih kurang berjarak 150-an kilometer dari kampus atau sekolah kami berada. Sebuah masjid dengan aliran air wudu yang bersih, jernih, dan mengalir tiada henti. Masjid yang bagian belakangnya justru menghadap jalan raya, yang hanya dibatasi oleh bebarapa dapuran pohon bambu. Sedang halaman depannya berbagi bersama halaman salah seorang pengurusnya. Sungguh membuat suasana masjid yang khas pedesaan.
Tebar hewan kurban di tempat itu membawa kesan tersendiri kepada kami semua bahwa bekerja sama dengan aparat resmi desa atau DKM sebuah tempat ibadah, menjadi hal yang penting. Ini karena tiga atau empat tahun sesudah kegiatan kami tersebut, dari berita di surat kabar dan media telivisi kami baru mngetahui bahwa masjid dimana kami pernah menginap itu adalah sebuah masjid yang beraliran sesat.
Di Kampungnya Para TKI
Berbeda pengalaman menginap di Pesantren atau di sebuah masjid yang ternyata dimiliki oleh sebuah aliran sesat, adalah pengalamanmenginap di sebuah desa yang hampir setiap anggota keluarganya ada yang menjadi TKI. Ini kami alami di sebuah lokasi tebar hewan kurban di daerah Subang.
Semula kami sedikit kaget dengan cukup banyaknya rumah-rumah tembok warga. Namun setelah siang harinya, yaitu ketika kami memulai bercengkerama dengan warga dan DKMnya, kesan rumah tembok yang mengisyaratkan bahwa penghuninya mampu itu sirna. Karena hampir semua warga yang tinggal di rumah-rumah tembok itu adalah para pekerja buruh tani. Rumah temboknya itu adalah 'hasil' dari kerja keras para perantau yang ada di keluarganya. Maka keseharian mereka tetap dari bekerja sebagai buruh tani tersebut.
Kami menginap di sebuah rumah
tembok dengan ubin marmer. Kami sampai di desa itu lebih kurang pukul
sebelas malam. Kami berangkat dari Jakarta pukul lima sore, tetapi
terhambat macet sejak dari halaman sekolah hingga ruas tol Cikampek.
Menjelang subuh, salah seorang dari kami dibangunkan alarm HP. Ini kehebohan kecil yang yang pada akhirnya membuat kami semua disibukkan dengan mencari stop kontak mesin air. Ini karena kebutuhan air pagi itu tidak dapat terpenuhi oleh karena stok dalam bak habis. Seluruh dinding tembok ruangan kami telusuri, namun tanpa hasil. Mesin air tidak dapat kami temukan dan nyalakan. Alhasil, kami sepakat untuk segera menuju ke masjid. Mesin air itu baru kami ketahui kebradaanya pada saat kami usai menunaikan shalat subuh. Si empunya rumah menunjukkan bahwa mesin air dan stop kontaknya berada di salah satu kamar!
Kenyataan tentang mesin air itu hanya salah satu pengalaman bagus yang kami dapatkan. Dan kami juga melihat bahwa rumah-rumah tembok yang ada di lokasi itu adalah bentuk investasi warganya yang bekerja di luar daerah. Sehingga ada kesenjangan antara rumah tembok dengan budaya bagi para penghubinya.
Menjelang subuh, salah seorang dari kami dibangunkan alarm HP. Ini kehebohan kecil yang yang pada akhirnya membuat kami semua disibukkan dengan mencari stop kontak mesin air. Ini karena kebutuhan air pagi itu tidak dapat terpenuhi oleh karena stok dalam bak habis. Seluruh dinding tembok ruangan kami telusuri, namun tanpa hasil. Mesin air tidak dapat kami temukan dan nyalakan. Alhasil, kami sepakat untuk segera menuju ke masjid. Mesin air itu baru kami ketahui kebradaanya pada saat kami usai menunaikan shalat subuh. Si empunya rumah menunjukkan bahwa mesin air dan stop kontaknya berada di salah satu kamar!
Kenyataan tentang mesin air itu hanya salah satu pengalaman bagus yang kami dapatkan. Dan kami juga melihat bahwa rumah-rumah tembok yang ada di lokasi itu adalah bentuk investasi warganya yang bekerja di luar daerah. Sehingga ada kesenjangan antara rumah tembok dengan budaya bagi para penghubinya.
Jakarta, 14 Oktober 2012.
No comments:
Post a Comment