Ujian Nasional untuk tingkat pendidikan Sekolah Dasar hari ini, Rabu, 09 Mei 2012 adalah hari terakhir. Dan menurut anak-anak didik kami seusai ketika kmai minta laporan pandangan mata terhadap soal yang dikerjakannya, mengaku cukup mampu mengerjakan. Pernyataan semacam itu untuk ketiga kalinya mereka lontarkan. Yaitu saat menyelesaikan soal Bahasa Indonesia di hari pertama dan soal Matematika di hari kedua, seorang anak didik saya tersebt konsisten memberikan jawaban; Alhamdulillah Pak bisa mengerjakan. Tentu, karena pertanyaan saya adalah: Bagaimana soal UN tadi?
Guru Merokok dan Membuka Pintu Ruang Ujian
Lain cerita anak didik, lain pula cerita yang disampaikan oleh teman-teman kami yang pada pelaksanaan Ujian Nasional kali ini mereka mendapat tugas sebagai Pengawas UN di sekolah lain. Karena dari kegiatan tersebut, kami dapat mengetahui bagaimana sekolah-sekolah lain dalam menyikapi peraturan-peraturan dalam pelaksanaan UN di sekolah yang mereka awasi tersebut. Baik teman-teman yang mengawas di tingkat pendidikan SMP atau di tingkat SD. Beberapa yang unik dan dalam pandangan kami tergoong pengalaman aneh, menjadi cerita yang menarik untuk diceritakan.
Seperti bagaimana teman-teman guru pengawas yang mengawas di sebuah SD, mengaku berempati ketika ada peraturan tambahan yang diterbitkan oleh Kasi Kurikulum dan Sistem Penilaian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta, yang diterima oleh para Kepala Sekolah saat mengambil dokumen soal UN, yang melarang para pengawas membagikan kertas buram, yang akan dipergunakan sebagai kertas corat-coret saat mengerjakan soal UN pada hari kedua, dan mengharuskan peserta UN untuk menghitung dan corat-coret langsung di kertas soal Matematika. Kontan, para pengawas secara serempak menyepakati akan tetap memberikan kertas yang akan dipergunakan sebagai sarana menghitung peserta UN dengan bersama-sama meyakini bahwa tidak ada sesuatu yang disembunyikan dalam kertas kosong yang mereka bagikan.Dan apa yag mereka lakukan sebagai empati atas apa yang semestinya anak-anak dapatkan. "Jangan mentang-mentang pelaksanaan UN SD jadwalnya paling akhir, karena sesudah pelaksanaan UN SMA dan SMP yang mungkin menimbulkan sesuatu ketika peserta dibagikan kertas buram sebagai sarana menghitung, maka peserta UN SD yang menjadi korban". Demikian kata seorang pengawas itu.
Lain lagi dengan teman saya yang di tahun ini mengawas di sebuah SMP. Dia menemukan sebuah budaya yang sangat kontradiktif dengan apa yang terjadi di sekolahnya selama ini. Ini terjadi ketika hari pertama UN, ketika dia disambut oleh seseorang yang mengajaknya minum kopi dulu di sebuah ruangan guru di gedung sekolah itu, dan mendapati bahwa Bapak-Bapak guru yang terdapat disitu sedang menghirap rokok selain menyanding gorengan dan segelas kopi. Kaget dan syoknya, karena selain tidak sesuai Perda yang ada, juga bertolak belakang dengan kebiasaan yang seharusnya ada di sebuah lembaga yang bernama sekolah. Temuannya ini, segera menjadi bahan diskusi kami ketika kami semua berkumpul di sekolah untuk saling tukar pengalaman selama menjadi pengawas Ujian Nasional. Dan tampaknya, apa yang dialamai oleh teman tersebut mendapat konfirmasi dari teman yang lain yang kebetulan juga pernah menjadi pengawas UN di sekolah yang bersangkutan. Sebuah dan salah satu bentuk kehidupan nyata tentang bagaimana operasionalisasi dunia pendidikan formal kita.
Sedang pengalaman teman yang satu lagi kami mungkin salah satu bentuk yang unik yang lain lagi berkenaan dengan pelaksanaan UN itu. Bahwa pada pukul 07.30 pada saat pelaksanaan UN, maka Ketua Panitia UN di sekolah dimana teman kami menjadi pengawasnya, dengan disaksikan oleh anggota panitia yang lain, di ruang pengawas atau ruang panitia UN, menyerahkan anak kunci dari pintu ruang UN. Kok kunci pintu Bu? Tanya teman saya. Jadi kami yang harus membuka pintu ruang UNnya Bu? Lanjut teman saya masih belum faham. Benar Bu. Memang begitulah aturan dalam UN. Jawab Ibu Kepala Sekolah yang juga adalah Ketua Pelaksanaan UN di sekolahnya itu.
Dari cerita-cerita teman yang kebetulan bertugas sebagai Pengawas UN tersebut, kami semua dapat mengambil pelajaran bahwa bentuk operasional UN, meski pemerintah telah menerbitkan Juklak atau Juknisnya, selalu terdapat deviasi pada tataran operasionalnya. Dan deviasi itu menyesuasikan kondisi sosio emosi yang ada di lingkungan tersebut. Dan meski demikian, saya sebagai pendengarnya, tetap merasakan adanya sesuatu yang berbeda dalam memaknai deviasi itu. Sebuah deviasi yang tidak dan bukan pada ranah kejujuran dan atau ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN itu sendiri, tetapi pada gradasi kesakralannya.
Jakarta, 09 Mei 2012.
No comments:
Post a Comment