Siapa yang tidak senang permaianan ini. Setidaknya pengataman yang saya lakukan kepada siswa saya yang laki-laki, baik yang duduk di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah, hampir sebagian besarnya menyukai permainan ini. Sebuah permainan kelompok yang tidak terlalu membutuhkan lahan yang relatif luas. Dan juga tidak harus berada di atas rumput. Cukup seluas lapangan basket. Bahkan di beberapa tempat kerena minimnya luas lapangan basket yang standar, maka lapangan minipun jadilah pemainan futsal itu di gelar.
Apa yang menjadi indikasi saya untuk mengatakan bahwa futsal itu cukup mendapat tempat di hati anak-anak, ditempat saya mengajar? Adalah ramainya jadwal bergantiannya anak-anak itu untuk menggunakan lapangan guna bermain futsal, khususnya disaat menunggu jemputan sepulang mereka sekolah? Dan karena ramainya jadwal pergantian tersebut, maka kelompok-kelompok tersebut hanya akan mendapatkan jatah bermainnya lebih kurang 15 menit atau palng lama 20an menit untuk satu kali main. Dan setelah giliran itu mereka dapatkan, maka kelompok lain dengan anggota yang berbeda telah siap menanti di pinggir lapangan. Dan karena itulah maka kami sebagai guru yang mendapat tugas piket pada saat tersebut, akan berfungsi sebagai penjaga komitmen agar kelompok-kelompok tersebut menepati sesuai kesepakatan yang dibuat. Juga kadang dan sering, jika itu giliran saya yang berjaga, maka saya akan menjadi wasit mereka.
Satu Fasilitas untuk Bersama
Kenyataan tersebut kadang membuat diantara kita ada yang berpikir, mangapa satu lapangan yang notabene adalah juga satu fasilitas digunakan secara bergantian atau bersama-sama? Bagaimana nanti asesor yang datang ke sekolah kita ketika ia akan bertindak sebagai panitia penilai untuk Akreditasi Sekolah? Apakah adanya satu fasilitas yang digunakan secara bersama-sama atau secara bergantian tersebut bukan merupakan sebuah kekurangan?
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya akan merembet kepada keberadaan masjid sekolah yang hanya ada satu tetapi digunakan secara bersama-sama oleh komunitas sekolah yang ada. Baik dari tingkat TK hingga mungkin SMA? Juga bagaimana dengan aula atau ruang bersama yang lain? Bagaimana fasilitas-fasilitas bersama ini nanti masuk dalam sistem administrasi sekolah yang akan menghadapi akreditasi? Dan setelah dicermati kasus demikian kalau di Jakarta atau kota lain di Indonesia adalah kasusnya untuk sekolah swasta dan bukan untuk di sekolah negeri. Mengapa? Karena sekolah swasta hampir selalu dikelola dalam satu atap atau dalam satu manajerial yang sama. Karena memang unit-unit sekolah yang ada di dalam satu lokasi yang sama. Sedang di sekolah pemerintah, meski dalam satu kelurahan terdapat beberapa sekolah pemerintah, maka mereka tidak dalam satu manajemen yang sama sebagaimana yang terjadi dalam sekolah satu atap tersebut. Oleh karenanya semua fasilitas yang ada relatif diperuntukkan bagi komunitas internal mereka.
Untuk itulah, maka sering paradigma demikianlah yang dibawa oleh para asesor Akreditasi Sekolah ketika mereka datang dan mengeses sekolah seperti sekolah saya. Dan untuk itulah saya justru ingin memberikan penjelasan berkenaan dengan keuntungan dari satu fasilitas sekolah untuk kepentingan dan untuk digunakan secara bersama.
Pertama, Itu adalah bentuk efisiensi dan sekaligus efektivitas. Karena dengan banyaknya pengguna dari fasilitas yang tersedia maka berarti bahwa okupasi ruangan-ruangan yang ada atau fasilitas-fasilitas yang tersedia menjadi tinggi. Ini sangat positif bagi sebuah fasiitas yang memang disediakan bukan untuk gaya-gayaan. Mengapa? Di beberapa tempat yang ada, saya masih melihat pesawat tv yang disediakan di sebuah sekolah di setiap ruang kelasnya. Maka pertanyaan saya adalah: seberapa sering tv-tv tersebut menyala dalam kurun waktu satu tahun? berapa uang yang berlebih jika misalnya terdapat 12 buah tv untuk kemudian dibelikan lcd proyektor dengan vedio playernya?
Cara berpikir yang demikianlah yang kadang masih sering menjadi kendala bagi pelaku pendidikan di sekolah untuk berpikir dengan frame paradigma lama sebagaimana yang saya kemukakan di atas.
Kedua, keberadaan fasilitas bersama tersebut justru menjadi wahana bagi komunitas penggunanya untuk mempraktekkan budaya hidup bersama. Dimana dalam situasi yang demikian sering menuntut para penghuninya untuk menjadi bertambah dewasa ketika harus menggunakan fasilitas yang ada. Dan ini adalah bentuk langsung dari pembelaaran karakter tidak saja bagi para siswa yang mengunakan fasilitas tersebut, tetapi juga para guru-guru dari anak-anak tersebut, bahkan juga termasuk para kepala sekolahnya.
Dalam hal wahana belajar inilah yang sering tidak menjadi bagian penting bagi kita pada umumnya. Paling sering bila berhadapan dengan satu fasilitas untuk keperluan bersama ini, adalah sebagai kendala dan sebagai hambatan.
Itulah dua hal yang saya dapatkan dari perenungan ketika saya harus berada di halaman sekolah menemani anak-anak bermain futsal secara bergantian.
Jakarta, 29 Mei 2012.
No comments:
Post a Comment