Saya mendapat cerita guru-guru di sebuah sekolah negeri di Jakarta yang akan dimutasikan karena alasan tidak tercukupinya jumlah minimal jam mengajar. Ini merupakan implikasi dari akan turunnya tunjangan sertifikasi yang hanya akan diterima guru-guru tersertifikasi sebagai guru profesional, yang memenuhi syarat minimal mengajar 24 jam pelajaran per pekan. Dan ketika saya melihat jadwal pelajaran yang ada di sekolah tersebut ternyata sekolah yang memiliki jumlah romobongan belajar sebanyak 15 kelas tersebut memiliki guru sebanyak 47 guru dengan 3 wakil kepala sekolah dan seorang kepala sekolah.
Sebagai orang yang mendapat amanah mengelola sekolah, saya menjadi terkaget dengan data yang terdapat dalam Jadwal Pelajaran tersebut. Apakah begitu bodohnya para pemangku kebijakan yang ada di wilayah itu sehingga untuk menghitung kebutuhan guru di sebuah sekolah sesuai dengan peraturan yang ada? Mengapa demikian? Karena jika yang menjadi patokan adalah jumlah minimal jam mengajar seorang guru adalah 24 jam pelajaran per pekan, bukankah untuk sekolah yang ada 15 rombongan belajar dengan jumlah jam pelajaran di setiap kelasnya 42 jam pelajaran setiap pekannya, maka sekolah itu cukup membutuhkan guru lebih kurang 27 guru dengan tambahan tiga guru yang mendapat tambahan tugas sebagai wakil kepala sekolah dan seorang guru sebagai kepala sekolah?
Dari data itu juga, saya memiliki beberapa dugaan atas kenyataan nyata ini. Pertama adalah dugaan saya akan lemahnya cara berpikir para pemangku kebijakan penempatan guru yang ada. Lemah pikir ini sebagaimana yang saya kemukakan pada alenia di atas. Dimana ada ketidak cermatan hitung secara murokab. Mulai dari tingkat kepala sekolah sebagai penanggungjawab di pelaksana hingga pejabat di atasnya. Mustahil bahwa data-data itu tidak menjadi bagian dari laporan bulanan yang sekolah kirim.
Kedua, bahwa selama ini tidak ada kontrol administrasi yang cermat terhadap sekolah-sekolah. Kontrol dalam arti bahwa semua data yang masuk hanya akan menjadi deretan angka yang tidak akan bermakna bagi pengambilan kebijakan berikutnya. Hal ini terjadi karena lemah dan tumpulnya kemampuan analisa para petugas yang ada. Realitas ini memberikan pertanyaan baru buat saya bahwa para pemangku kebijakan tersebut apakah begitu masa bodohnya terhadap efisiensi bagi berjalannya negara ini? Sementara pada bagian lain, kita masih membaca di koran tentang berita ketiadaan guru di sebuah sekolah. Apakah ini tidak semakin menambah ironi tersebut?
***
Kembali kepada cerita mutasi guru tersebut, saya justru bertanya-tanya, apakah begitu sulitnya sebuah keputusan mutasi itu dijatuhkan atau begitu bodohnya makhluk yang bernama birokrasi itu?
Ini patut saya sampaikan karena kelebihan 10 guru dalam satu lembaga pendidikan adalah bentuk praktek inefisiensi yang luar biasa. Apakah dengan kelebihan guru yang ada di lembaga tersebut akan memberi dampak kepada efektifitas kerja? Saya sepenuhnya tidak yakin. Bentuk inefisiensi itu hanya lahir karena sesungguhnya ada atau tidaknya pemangku jabatan di wilayah tersebut sama dengan ketiadaannya.
Dari kaca mata inilah saya belajar tentang bagaimana mempraktekkan bagaimana kemampuan analitis itu sebagai pangkal dari menuju hidup hemat.
Jakarta, 06 Mei 2012.
No comments:
Post a Comment