Esok, Senin tanggal 07 Mei 2012, adalah hari pertama pelaksanaan ujian nasional atau UN SD untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Semua keluarga yang putra-putrinya menjadi peserta ujian tahun ini, terutama yang tinggal di kota-kota, tentu akan mengisi hari ini dengan tetap tinggal di rumah demi persiapan esok hari. Hari yang menjadi akhir dari seluruh rangkaian pendidikan di tingkat pendidikan sekolah dasar selama enam tahun. Dan saya bisa pastikan tidak saja keluarga yang mempersiapkan diri agar para buah hati mereka dapat melalui ujian dengan hasil yang maksimal, tetapi juga para pemangku amanah pendidikan di sekolah dasar. Baik yang ada di wilayah kebijakan ataupun mereka yang berada di pelaksanaan pendidikan persekolahan seperti saya dan teman-teman.
Meski usaha telah kami usahakan jauh hari sebelum hari H, namun kami terus berusaha agar semuanya dapat berjalan dengan lancar. Setidaknya agar anak-anak itu dapat melaksanakan tugasnya dalam menyelesaikan tugasnya dalam ujian nanti dengan tanpa menemui kesulitan. Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa anak-anak itu kami siapkan tidak hanya selesai pada menguasai materi pelajaran yang akan diujikan sebagaimana yang telah digariskan dalam kisi-kisi, tetapi juga bagaimana menyelesaikan soal-soal yang ada dalam berbagai judul buku yang tersedia di toko buku.
Dan dalam kesiapan untuk kesiapan ujian nasional nanti, saya sendiri justru terpikir akan rutinitas proses belajar dan proses pendidikan yang saya dan teman-teman lakukan selama ini bila ujung dari semua proses perjalanan kami itu hanya diukur dengan tiga mata pelajaran ditingkat sekolah dasar, dan juga hanya ranah kognitif.
Kegelisahan saya yang pertama adalah, benarkah inilah esensi pendidikan yang berujung kepada manusia taqwa dan cerdas sebagaimana yang kita cita-citakan? Mengapa ini menjadi bahan kegelisahan saya sebagai guru? Karena dalam ranah kognitif yang diujikan dalam bentuk soal ujian nasional itu kurang banyak memberikan peluang kepada anak didik untuk berpikir dalam aspek dan tataran analistik. Masih sebagian besar dari soal-soal tersebut yang hanya mengukut aspek kognitif tingkat rendah. Dan dengan kenyataan ini maka sesunguhnya kita belum membentuk anak yang mampu berpikir analistis. Oleh karenanya maka tingkat cerdas yang akan dimunculkan masih cerdas mengingat, cerdas memahami, dan cerdas mengaplikasi.
Yang kedua adalah, bahwa dalam bentuk evaluasi kognitif sebagaimana yang terjadi dalam ujian nasional tersebut, maka ranah lain yang menjadi kekuatan anak didik tidak menjadi bagian dalam hasil pendidikan,seperti afektif dan psikomotorik juga tidak menjadi bagian dalam hasil pendidikan. Kejujuran, sopan santun, disiplin, dan sikap positif lainnya, memang menjadi tujuan pendidikan kita tetapi hal-hal itu tidak akan pernah menjadi bagian dalam hasil pendidikan dari ketiga mata pelajaran yang diuji nasionalkan di tingkat sekolah dasar.
Itulah dua hal yang paling krusial yang terus menerus menggelayuti pikiran saya ketika hingga sekarang ini saya berdiri pada profesi sebagai guru di pendidikan formal. Bagaimana dengan Anda?
Dan terlepas dari hal yang mengganggu pikiran saya tersebut, harapan yang paling ingin terwujud terhadap pelaksanaan ujian kali ini adalah semoga anak-anak didik kami di sekolah tetap dapat melaksanakan dengan baik ujian akhirnya itu. Tentu dengan hasil yang optimal. Semoga. Amin.
Jakarta, 06 Mei 2012.
No comments:
Post a Comment