Ada satu hal lagi yang akan saya sampaikan berkenaan dengan berakhirnya UN SMP 2012 lalu. Yang menurut saya tetap penting dan selalu hangat untuk saya tulis dalam lembar catatan saya ini. Hal itu tidak berkait langsung dengan saya dan anak-anak didik di sekolah, namun yang berkait dengan esensi hasil belajar anak didik.
Juga tentu bukan yang berkait dengan urgenitas UN, yang selalu penting untuk tetap dilaksanakan oleh pemerintah selaku pemangku kebijakan. Atau tentang bagaimana anak-anak didik kami itu berusaha dalam memenuhi tuntutan dari hasil UN itu dalam bentuk untuk sekedar lulus saja, karena mungkin ada diantara anak didik kami yang telah mendapatkan sekolah di tingkat pendidikan lebih lanjut, atau pastinya juga untuk memperoleh hasil yang optimal dan semaksimal mungkin karena dengan hasil yang baik tersebut nantinya akan dapat mengantarkannya untuk masuk di sekolah negeri yang memiliki reputasi atau passing grade yang bagus, atau memang ada diantara anak-anak kami itu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi.
Apa yang akan saya sampaikan di sini ukan tentang kebijakan pemerintah kita terhadap UNnya itu sendiri, tetapi justru terhadap pola dan cara pandang kita semua terhadap UN. Cara pandang yang dalam tahapan tertentu itu menjadi semacan takaran tentang bobot UN. Sebuah takaran yang saya merasakan sangat tidak adil dan tidak pada esensinya. Justru dengan pandangan sebagaimana yang tumbuh di masyarakat seperti sekarang ini saya berpikir bahwa tugas kami sebagai guru akan tetap dan terus sulit, terutama dalam menumbuhkan dan meyakinkan bahwa hasil belajar anak didik tidak hanya apa yang didapat dalam Ujian Nasional itu saja.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa hasil UN ini selain sebagai bagian dari pengambilan keputusan sekolah untuk kelulusan, juga adalah sebagai kunci bagi anak didik unuk dapat memasuki bangku pendidikan di SMP dan di tingkat SMA. Selain itu, pemerintah juga berkepentikan dengan hasil UN ini sebagai alat kontrol terhadap kualitas sekolah. Dan karena begitu pentingnya hasil UN tersebut, maka tidak dapat dipungkiri jika hingga kepala daerah juga memberikan target kepada Dinas Pendidikan dan Kebuyaan di wilayahnya masing-masing, setidaknya untuk terus ada peningkatan dari apa yang dicapai di tahun sebelumnya, dan selebihnya agar hasil yang bagus tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap martabat wilayah yang dipimpinnya. Hanya memang patut disayangkan bahwa beberapa wilayah tersebut hanya memancang target bahkan diantaranya dengan ancaman, tanpa memberikan supporting kepada proses pencapaiannya.
Sedang di mata masyarakat, karena hasil UN adalah satu-satunya alat untuk dapat memasuki bangku pendidikan menengah pertama dan atas serta sederajat, maka UN praktis menjadi target nyata yang harus direbut. Dan dalam pandangan saya, maka konsepsi ini akan melahirkan sebuah keyakinan bahwa hasio belajar adalah hasil UN tersebut. Dan konsepsi ini akan menarik seluruh syaraf kita untuk meyakini bahwa hasil UN itulah standar kepintaran anak.
Dengan melihat uraian itu, maka sekali lagi saya berteriak kepada semua teman yang berkutat dalam dunia pendidikan untuk tetap berkomitmen mengembangkan anak didik tidak hanya dalam tiga mata pelajaran di tingkat sekolah dasar, atau empat mata pelajaran di tingkat sekolah menengah pertama, atau enam mata pelajaran di tingkat sekolah menengah atas, sebagai hasil belajar dan tolok ukur kepintaran anak didik. Karena anak didik memiliki beragam potensi dan beragam kecenderungan.Anak didik juga memiliki beragam domain atau ranah dalam potensi.
Dan dengan keyakinan seperti itulah saya mengajak untuk bertekad bahwa hasil Ujian Nasional, dimanapun tingkatnya, bukan satu-satunya hasil belajar. Tetapi sebagai salah satu hasil belajar!
Jakarta, 06 Mei 2012.
No comments:
Post a Comment