Tidak seua tempat atau sekolah, dan juga tidak semua staf pendidikan yang berpikir fleksibel. Kisah ini merupakan kisah khas yang berkaitan dengan hal-hal dari siswa. Misalnya, adanya permohonan dari pihak orangtua siswa dan siswa itu sendiri yang meminta memperpanjang hari liburnya. Ini mengingat si anak ada di sekolah dan di Indonesia dalam keluarga wali. Sedang orangtua dan saudaranya berada di nun jauh di seberang lautan Pasifik. Untuk itu akan begitu singkatnya bila ia harus kembali ke sekolah setelah berlibur bertemu keluarganya untuk waktu tiga pekan. Bukankah nantinya tidak efisien bila waktu tiga pekan itu dikonversi dengan harga tiket pergi-pulangnya?
Maka untuk pertimbangan itulah, di sela pelaksanaan Ujian Nasional yang lalu, kami berkumpul untuk sekedar mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat kami ambil sebagai pilihan jalan keluar dari permohonan tambahan izin tersebut. Dimana kemungkinan pilihan tersebut nantinya akan kami komunikasikan kepada keluarga wali dimana anak murid kami ini berada.
Dan sebagaimana judul cerita ini, maka kamipun segera menyepakati pilihan-pilihan yang mudah-mudahan menyenangkan si anak didik kami, yang masih duduk di bangku kelas tujuh, akan pulang ke tempat dimana ayah dan ibundanya berada setelah selama satu tahun ia berada di rantau.
Terlalu Berat
Dan siang itu, setelah kami menyelesaikan kegiatan bersama di ruang serba guna seolah, saya bertemu langsung dengan anak tersebut untuk kemudian berbincang tentang rencana perjalanan 'pulangnya'. Disampaikan bahwa ia sangat menanti tanggal dimana ia harus berangkat ke bandara. Juga tentang kapan kembalinya ia ke Indonesia untuk kemudian masuk di kelas berikutnya di tahun pelajaran baru nanti. Namun saya menangkap keraguan yang amat sangat akan komitmen dia untuk dapat kembali lagi ke Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya.
- Saya belum tahu kapan akan kembali ke Indonesia. Atau apakah saya mungkin tidak akan kembali ke Indonesia. Katanya ketika menjawab pertanyaan saya. Padahal pada pertemuan sebelumnya, ia berencana kembali ke Indonesia setelah Idul Fitri, dan akan masuk kembali ke sekolah Senin di awal bulan September, di kelas yang baru. Tetapi sepertinya ia telah lupa akan apa yang pernah disampaikannya kepada saya. Oleh karenanya saya mencoba untuk bertanya lebih anjut tentang apa yang ada direncananya selanjutnya.
- Mengapa ragu untuk menyebutkan kapan akan kembali ke sekolah? Tanya saya berikutnya.
- Karena saya ragu apakah akan tetap tinggal di Indonesia atau akan tetap bersama orangtua saya. Jelasnya.
- Apa yang paling membuat kamu ragu untuk kembali ke Indonesia? Selidik saya. Saya ingin memastikan dan sekaligus berharap kalau masalah pertemanan bukan bagian masalah yang membuatnya ragu kembali ke Indonesia. Karena jika ini yang terjadi, pikir saya, berarti praktek bullying barangkali masih terjadi.
- Pelajaran di sini berat sekali. Semua berat kecuali Bahasa Inggris. Jelasnya.
Meski saya bersyukur bahwa pertimbangannya untuk kemungkinan tidak kembali ke Indonesia bukan karena masalah dengan pergaulannya di kelas dan di sekolah, namun saya menjadi berpikir; bagaimana mungin pelajaran di sekolah ia nilai lebih berat dibanding dengan apa yang dialaminya ketika sekolah di negerinya? Bukankah 'hasil' dari pendidikan kita, dalam bentuk kualitas SDM jauh berada di bawah? Apakah tidak ada orang pintar di negeri tercinta ini yang mengetahu fakta semacam ini untuk kemudian membuat proses pendidikan kita yang menghailkan SDM yang tidak kalah dengan negeri dimana kedua orangtua anak didik saya ini tinggal?
Jakarta, 25 Mei 2012.
No comments:
Post a Comment