Pekan-pekan ini, bontot saya, yang tengah duduk di kelas XI sebuah SMAN di Jakarta, dipenuhi cerita intrik antar guru di sekolahnya. Dan cerita itu tidak urung memakan hampir seluruh perhatiannya. Termasuk juga menggalang informasi dan pendapat dari teman-temannya dengan cara membuat survey jejak pendapat dan merangkumnya menjadi sebuah proposal untuk modal beraudiensi dengan kepala sekolah.
Cerita berawal ketika para guru yang ada di sekolahnya tidak memenuhi kuota minimal jumlah jam mengajar sebagaimana yang dipersyaratkan dalam sertifikasi guru. Hal ini tentu saja karena jumlah guru dan jumlah kelas yang harus diajar tidak memungkinkan untuk terjadinya pemenuhan kuota tersebut. Alhasil,maka mutasi menjadi pintu keluar bagi guru-guru yang ada. Terutama bagi guru-guru yang mengajar pada mata pelajaran yang sama.
Namun bukan mutasinya yang menjadi kendala dan masalah berikutnya. Masalah datang ketika guru-guru yang dimutasi adalah guru-guru yang di mata siswa bagus. Dalam hal apa? Dalam hal mengajar atau menyampaikan pembelajaran. Bahkan tidak sekedar itu, menurut bontot saya, guru-guru yang akan dimutasi itu adalah guru-guru yang menjadi aset besar untuk kemajuan sekolah dimana ia berada. Mereka adalah guru-guru yang memiliki kepedulian terhadap kepribadian siswa dan prestasinya
Namun ketika audiensi terjadi, kepala sekolah tidak mungkin membuat usulan pembatalan atas keputusan mutasi tersebut. Namun, saya jadi teringat akan pengalaman yang menimpa guru anak saya yang sulung ketika ia masih duduk di SMA pada tahun pelajaran 2008/2009. Inilah cerita si sulung tentang intrik para gurunya di SMA:
***
Guru Menekan Guru
Anda pasti pernah mendengar murid senior menekan murid juniornya. Dimana siswa senior secara berkelompok dan sembunyi-sembunyi melakukan aksi yang menurut mereka baik untuk dilakukan kepada juniornya. Mereka menunjukkan kesenioritasan dalam bentuk tindak-tindak arogan kepada juniornya. Inilah yang di dunia pendidikan dinamakan bullying. Sebuah penyakit sosial yang terlanjur tumbuh. Tapi pernahkah anda mendengar perilaku bullying tersebut terjadi pada strata guru disekolah? Misalnya dalam bentuk guru menekan guru?
Berikut penulis akan memberikan sebuah anekdot berkenaan dengan fenomena sosial tersebut. Sebut saja Bu Dian, seorang guru yang usianya masih relatif muda. Mengajar bidang studi Bahasa Inggris di sebuah sekolah SMA swasta di wilayah Jakarta. Memiliki sifat terbuka dan egaliter ketika berhadapan dengan siswa SMA yang menjadikannya mungkin berbeda dengan guru lain di lembaga tempatnya mengabdikan diri.
Kejadian ini berawal pada saat Ibu Dian mendapat amanah untuk menjadi guru wali kelas. dengan cara dan gayanya, menjadikan siswa di kelasnya sangat menyukai dan menjadikannya sebagai guru favorit. Kecintaan siswa terhadap dirinya tidak saja datang hanya dari kelas dimana dirinya menjadi guru wali kelasnya. Tetapi hampir di seluruh kelas dimana ia mengajar Bahasa Inggris. Waktupun berjalan dengan baik-baik saja. Tidak ada masalah sedikitpun terhadap kedekatan dirinya dengan seluruh siswanya.
Namun dengan berjalannya waktu, ada saja guru yang menjadi tidak nyaman dengan kondisi demikian. Sehingga yang ingin menjatuhkanya di mata siswanya sendiri dengan cara konspirasi yang dimainkan orang jahat tersebut. Dan yang menjadi sasaran adalah anak murid Ibu Dian. Masalah kecil dibesar-besarkan hingga sampai pada pemanggilan orang tua, hanya karena masalah sepele. Misal: memakai kaus oblong, baju di keluarkan, kaus kaki tidak berwarna putih dan rambut panjang padahal murid tersebut rambutnya sudah pendek. Intinya orang tersebut terus mencari-cari masalah dengan anak murid Bu Dian. Tapi Bu Dian yang sabar terus menasehati murid muridnya agar tidak melawan. Sampai kami naik kelas menjadi kelas XII IPA. Karena di sekolah tersebut kelas IPA hanya satu kelas jadi ketika naik kelas kami hanya berpindah ruangan tapi anak anaknya tidak berubah.
Wali kelas XI IPA berganti yang tadinya di pegang oleh Ibu Dian sekarang menjadi Ibu Tiwi. Sepertinya tidak ada masalah tapi disinilah masalah itu berawal. Murid-murid XII IPA yang sudah menganggap Ibu Dian sebagai Ibu kandung dan bukan sekedar sebagai wali kelas membuat Ibu Tiwi cemburu dan tidak senang. Padahal wali kelas mereka sudah diganti menjadi Ibu Tiwi. Ibu Tiwi pun memutar otak supaya murid murid XII IPA tidak dekat lagi dengan bekas anak muridnya itu. Ibu Tiwi yang jaga dekat dengan wakil kepala sekolah itu mulai mencari masalah, dengan merazia kolong-kolong meja yang berisi banyak buku murid-murid yang ditinggal di sekolah. Lalu memanggil murid-muridnya satu per satu dan menanyakan pertanyaan yang menjatuhkan nama Ibu Dian di depan guru guru yang lain sehingga Ibu Dian dikucilkan di ruang guru. Rencana Ibu Tiwi berjalan dengan sempurna dan ia pun semakin bersemangat mencari cari kesalahan murid murid XII IPA. Memang mengherankan ketika guru-guru yang lain berusaha keras untuk memoersiapkan ujian nasinonal tapi Ibu Tiwi malah sibuk menjatuhkan Ibu Dian dari depan maupun belakang.
Ibu Dian pun bingung kenapa Ibu Tiwi itu begitu membenci Ibu Dian, sebenarnya apa salah Ibu Dian kepada Ibu Ibu Tiwi hingga melibatkan para murid murid XII IPA?. Masalah ini mencapai puncaknya ketika kasus demi kasus menyapa murid-murid XII IPA. Dan ironisnya kenapa kalau murid murid XII IPA membuat suatu kasus yang di salahkan adalah Ibu Dian?. Padahal yang harus di salahkan adalah Ibu Tiwi itu sendiri sebagai wali kelas, ibu Dian bukan wali kelas XII IPA. Sampai sampai ditahun pelajaran berikutnya Ibu Dian dinonaktifkan dari sekolah SMA swasta tersebut akibat kasus yang menyapa murid-murid XII IPA. Dan ada orang yang tertawa melihat kejadian ini.
Tidak heran sekarang banyak video-video kekerasan yang dilakukan oleh para siswa dan siswi di sekolah kalau guru gurunya saja seperti itu. Pantas negara ini tidak mengalami kemajuan malah terancam kemunduran. Guru-gurunya saja seperti itu. Bagaimana mau memberantas korupsi kalau lingkungan sekolahnya saja seperti itu. Anda pasti tahu peribahasa yang mengatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Artinya apa yang dilakukan guru pasti diikuti juga oleh murid tidak peduli itu baik atau pun itu buruk.
Anda pasti pernah mendengar murid senior menekan murid juniornya. Dimana siswa senior secara berkelompok dan sembunyi-sembunyi melakukan aksi yang menurut mereka baik untuk dilakukan kepada juniornya. Mereka menunjukkan kesenioritasan dalam bentuk tindak-tindak arogan kepada juniornya. Inilah yang di dunia pendidikan dinamakan bullying. Sebuah penyakit sosial yang terlanjur tumbuh. Tapi pernahkah anda mendengar perilaku bullying tersebut terjadi pada strata guru disekolah? Misalnya dalam bentuk guru menekan guru?
Berikut penulis akan memberikan sebuah anekdot berkenaan dengan fenomena sosial tersebut. Sebut saja Bu Dian, seorang guru yang usianya masih relatif muda. Mengajar bidang studi Bahasa Inggris di sebuah sekolah SMA swasta di wilayah Jakarta. Memiliki sifat terbuka dan egaliter ketika berhadapan dengan siswa SMA yang menjadikannya mungkin berbeda dengan guru lain di lembaga tempatnya mengabdikan diri.
Kejadian ini berawal pada saat Ibu Dian mendapat amanah untuk menjadi guru wali kelas. dengan cara dan gayanya, menjadikan siswa di kelasnya sangat menyukai dan menjadikannya sebagai guru favorit. Kecintaan siswa terhadap dirinya tidak saja datang hanya dari kelas dimana dirinya menjadi guru wali kelasnya. Tetapi hampir di seluruh kelas dimana ia mengajar Bahasa Inggris. Waktupun berjalan dengan baik-baik saja. Tidak ada masalah sedikitpun terhadap kedekatan dirinya dengan seluruh siswanya.
Namun dengan berjalannya waktu, ada saja guru yang menjadi tidak nyaman dengan kondisi demikian. Sehingga yang ingin menjatuhkanya di mata siswanya sendiri dengan cara konspirasi yang dimainkan orang jahat tersebut. Dan yang menjadi sasaran adalah anak murid Ibu Dian. Masalah kecil dibesar-besarkan hingga sampai pada pemanggilan orang tua, hanya karena masalah sepele. Misal: memakai kaus oblong, baju di keluarkan, kaus kaki tidak berwarna putih dan rambut panjang padahal murid tersebut rambutnya sudah pendek. Intinya orang tersebut terus mencari-cari masalah dengan anak murid Bu Dian. Tapi Bu Dian yang sabar terus menasehati murid muridnya agar tidak melawan. Sampai kami naik kelas menjadi kelas XII IPA. Karena di sekolah tersebut kelas IPA hanya satu kelas jadi ketika naik kelas kami hanya berpindah ruangan tapi anak anaknya tidak berubah.
Wali kelas XI IPA berganti yang tadinya di pegang oleh Ibu Dian sekarang menjadi Ibu Tiwi. Sepertinya tidak ada masalah tapi disinilah masalah itu berawal. Murid-murid XII IPA yang sudah menganggap Ibu Dian sebagai Ibu kandung dan bukan sekedar sebagai wali kelas membuat Ibu Tiwi cemburu dan tidak senang. Padahal wali kelas mereka sudah diganti menjadi Ibu Tiwi. Ibu Tiwi pun memutar otak supaya murid murid XII IPA tidak dekat lagi dengan bekas anak muridnya itu. Ibu Tiwi yang jaga dekat dengan wakil kepala sekolah itu mulai mencari masalah, dengan merazia kolong-kolong meja yang berisi banyak buku murid-murid yang ditinggal di sekolah. Lalu memanggil murid-muridnya satu per satu dan menanyakan pertanyaan yang menjatuhkan nama Ibu Dian di depan guru guru yang lain sehingga Ibu Dian dikucilkan di ruang guru. Rencana Ibu Tiwi berjalan dengan sempurna dan ia pun semakin bersemangat mencari cari kesalahan murid murid XII IPA. Memang mengherankan ketika guru-guru yang lain berusaha keras untuk memoersiapkan ujian nasinonal tapi Ibu Tiwi malah sibuk menjatuhkan Ibu Dian dari depan maupun belakang.
Ibu Dian pun bingung kenapa Ibu Tiwi itu begitu membenci Ibu Dian, sebenarnya apa salah Ibu Dian kepada Ibu Ibu Tiwi hingga melibatkan para murid murid XII IPA?. Masalah ini mencapai puncaknya ketika kasus demi kasus menyapa murid-murid XII IPA. Dan ironisnya kenapa kalau murid murid XII IPA membuat suatu kasus yang di salahkan adalah Ibu Dian?. Padahal yang harus di salahkan adalah Ibu Tiwi itu sendiri sebagai wali kelas, ibu Dian bukan wali kelas XII IPA. Sampai sampai ditahun pelajaran berikutnya Ibu Dian dinonaktifkan dari sekolah SMA swasta tersebut akibat kasus yang menyapa murid-murid XII IPA. Dan ada orang yang tertawa melihat kejadian ini.
Tidak heran sekarang banyak video-video kekerasan yang dilakukan oleh para siswa dan siswi di sekolah kalau guru gurunya saja seperti itu. Pantas negara ini tidak mengalami kemajuan malah terancam kemunduran. Guru-gurunya saja seperti itu. Bagaimana mau memberantas korupsi kalau lingkungan sekolahnya saja seperti itu. Anda pasti tahu peribahasa yang mengatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Artinya apa yang dilakukan guru pasti diikuti juga oleh murid tidak peduli itu baik atau pun itu buruk.
Ditulis si sulung pada April 2009.
Jakarta, 16 April 2012.
1 comment:
izin share ya.. :)
Post a Comment